Selasa, 29 Januari 2013

Teknik Identifikasi Bakteri Aeromonas sp. Di Balai Uji Standar Karantina Ikan (BUSKI) Jakarta Timur


TEKNIK IDENTIFIKASI PENYAKIT BAKTERI Aeromonas sp. PADA IKAN AIR TAWAR DI BALAI UJI STANDAR KARANTINA IKAN PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN (BUSKIPM)  JAKARTA TIMUR





PROPOSAL KARYA ILMIAH PRAKTEK AKHIR
JURUSAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERIKANAN



OLEH :
MUHAMMAD KHAIRI MIZWAR SIAGIAN
NIT. 10.3.02.119


KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN
AKADEMI PERIKANAN SIDOARJO
2013 



I.    PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Indonesia memiliki perairan tawar yang sangat luas dan berpotensi besar untuk usaha budidaya berbagai macam jenis ikan air tawar (Ade 1994). Secara ekonomis, usaha budidaya ikan air tawar sangat menguntungkan karena ikan ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi serta sangat mendukung bagi pemenuhan gizi masyarakat (Cahyono, 2000). Selain itu, Menurut Esa (1994),serapan pasar ikan air tawar tidak hanya terbatas di dalam negeri, melainkan hingga pasar Internasional.
Menurut Cahyono (2000), ikan air tawar adalah ikan yang menghabiskan sebagian atau seluruh hidupnya di air tawar, seperti sungai dan danau, dengan salinitas kurang dari 5 ppt. Dalam banyak hal, lingkungan air tawar berbeda dengan lingkungan perairan laut, dan yang paling membedakan adalah tingkat salinitasnya. Empat puluh satu persen dari seluruh spesies ikan diketahui berada di air tawar.
Serangan penyakit pada ikan dapat timbul sewaktu-waktu, bersifat eksplosif (meluas), penyebarannya cepat dan seringkali menimbulkan kematian yang cepat pula. Penyakit ikan yang disebabkan oleh parasit, bakteri, jamur, virus, faktor lingkungan dan nutrisi atau makanan (Cahyono, 2000).
Puskari (2005) menyatakan bahwa upaya pencegahan melalui tindakan karantina terhadap ikan-ikan yang diterima baik itu dari domestik atau diimpor dari luar negeri maupun yang dilalulintaskan di dalam wilayah Indonesia harus dilakukan untuk mencegah masuknya jenis-jenis bakteri yang belum terdapat atau sudah terdapat di Indonesia tetapi belum tersebar luas. Hal ini dikarenakan, Karantina ikan sebagai filter masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan karantina, mempunyai peranan yang semakin penting dan strategis.
Menurut Pusat Karantina Ikan (2005), Karantina Ikan adalah tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan karantina dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia. Tindakan karantina meliputi pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan.
Pembangunan kelautan dan perikanan dimasa mendatang diharapkan menjadi sektor andalan dalam menopang perekonomian negara sehingga perlu dilakukan pemanfaatan sumber daya alam kelautan dan perikanan yang lebih intensif. Salah satu peluang ekspor adalah ikan hias yang cukup diminati di pasar nasional maupun pasar internasional. Ikan hias yang sering diekspor adalah ikan Mas Koki, sedangkan untuk ikan konsumsi jenis ikan air tawar yang banyak diminati adalah ikan Gurame, ikan Lele dan ikan Nila (Suprastyani dkk. 1999).
Meningkatnya frekuensi dan volume komoditi perikanan yang dilalulintaskan dari/ke luar negeri maupun antar area di dalam negeri melalui pintu-pintu masuk/keluar, sangat berpengaruh terhadap meningkatnya resiko terbawanya hama dan penyakit ikan berbahaya. Oleh karena itu, kehandalan dan pelayanan prima karantina ikan yang dalam pelaksanaan tugasnya berada di pintu-pintu masuk/keluar sangatlah penting untuk ditingkatkan (Puskari, 2005).
Namun akhir-akhir ini terjadi penurunan terhadap poduksi ikan Mas Koki, ikan Gurame, ikan Lele dan ikan Nila. Penyebab menurunnya produksi ikan Mas Koki adalah penyakit bakteri yang dikenal dengan Aeromonas sp. Menurut Supriyadi (1989) dalam Badan Riset Kelautan dan Perikanan (2003), penyebab menurunnya produksi Gurame adalah bakteri Mycobacterium sp. Penyakit Streptococcosis juga menyebabkan penurunan produksi ikan Nila Gift.
Beberapa jenis bakteri yang terdapat di Indonesia namun belum tersebar luas, yaitu Aeromonas salmonicida dan Edwardsiella tarda di Jawa, Mycobacterium sp. di Jawa dan Sumatera serta Streptococcus sp. di Sulawesi (Hamza 2010)Bakteri biasanya memiliki ukuran 0,5 - 5 μm, meski ada jenis dapat menjangkau 0,3 mm dalam diameter (Thiomargarita). Mereka umumnya memiliki dinding sel, seperti sel tumbuhan dan jamur, tetapi dengan bahan pembentuk sangat berbeda (peptidoglikan). Banyak bakteri yang bergerak menggunakan flagela, yang berbeda dalam strukturnya dari flagela kelompok lain (Dwidjoseputro, 2005).
Menurut Hamza (2010), bakteri terdapat disekitar sistem perairan. Apabila ikan mengalami stress maka bakteri yang terdapat pada perairan tersebut dapat menimbulkan penyakit. Pada umumnya sumber dan cara penularan penyakit akibat serangan bakteri-bakteri antara lain melalui ikan yang sakit, ikan karir, air yang terkontaminasi, makanan yang terkontaminasi, telur yang terkontaminasi, alat atau pakaian yang terkontaminasi atau melalui bulu burung air.
              Bertitik tolak dari besarnya keinginan penulis untuk mengetahui semua tindakan yang dilakukan karantina, termasuk di dalamnya teknik identifikasi penyakit khususnya bakteri Aeromonas sp. Maka pada Kerja Praktek Akhir ini penulis mengambil judul Teknik Identifikasi Penyakit Bakterial Jenis Aeromonas sp. Pada Ikan Air Tawar yang Dilalulintas Di Balai Uji Standar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BUSKIPM) Jakarta Timur.
1.2. Maksud dan Tujuan
1.2.1. Maksud
              Pelaksanaan Kerja Praktek Akhir ini dimaksudkan untuk:
a.   Mempelajari prosedur identifikasi penyakit bakterial di Balai Uji Standar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Jakarta Timur.
b.   Mengetahui prosedur tindakan karantina
c.   Mengetahui tingkat penyebaran penyakit khususnya yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas sp. pada ikan air tawar.
1.2.2. Tujuan
              Dengan pelaksaan kegiatan Kerja Praktek Akhir ini diharapkan mencapai tujuan akhir untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan dalam hal teknik identifikasi bakteri Aeromonas sp. khususnya ikan air tawar di Balai Uji Standar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Jakarta Timur.
1.3. Pendekatan Masalah
Karantina ikan mutlak diperlukan oleh para petani ikan bila akan menerima ataupun mengirimkan ikan. Tindakan karantina ini untuk mencegah tersebarnya penyakit dan parasit ikan yang berasal dari suatu daerah atau pulau ke daerah atau pulau lain.
Demikian juga untuk tujuan ekspor dan impor perlakuan karantina perlu dilakukan demi memperlancar penerimaan ikan di tempat tujuan karena adanya jaminan terhadap kesehatan ikan (Dealani 2001).
Salah satu penyebab penyakit ikan yang sering ditemukan adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas sp.
Dengan adanya karantina ikan, untuk mengasingkan dan mengidentifikasi bakteri yang diduga merupakan penyebab penyakit ikan maka dilakukan pemeriksaan penyakit ikan golongan bakteri. Pemeriksaan penyakit bakterial ini meliputi sterilisasi peralatan, pemeriksaan sampel dan identifikasi bakteri yang meliputi pewarnaan gram serta uji biokimia.
Dari hasil pemeriksaan akan diketahui jenis bakteri yang menginfeksi komoditi yang dilalulintaskan. Apabila bakteri yang menginfeksi termasuk Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK) golongan I maka dimusnahkan, sedangkan apabila HPIK golongan II maka akan diberi perlakuan berupa pengobatan dan apabila masih tidak bisa disembuhkan maka akan dimusnahkan. Setelah dilakukan tahap perlakuan, maka dilakukan evaluasi untuk mencegah timbulnya penyakit baru baik dari input maupun proses pemeriksaan. Komoditi yang bebas dari infeksi bakteri HPIK dapat disembuhkan akan dibebaskan dan akan diberi Sertifikat Kesehatan Ikan. Alur pendekatan masalah dapat dilihat pada Gambar 1.



II.   TINJAUAN PUSTAKA
 

2.1.   Karantina Ikan
Menurut PP No. 15 Tahun 2002 pasal 1 angka 1 tentang karantina ikan, karantina Ikan adalah tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya Hama dan Penyakit Ikan Karantina dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia (DKP, 2002).
2.1.1. Wilayah Kerja
Seperti yang tercantum dalam Kepmen tentang wilayah kerja karantina di Indonesia  Bab V pasal 21 Tahun 2002 Wilayah kerja yang dapat diinformasikan bahwa Balai Karantina memiliki 5 unit kerja, Stasiun Karantina Ikan Kelas I sebanyak 17 unit kerja, dan Stasiun Karantina Ikan Kelas II sebanyak 21 unit kerja. Balai dan Stasiun Karantina Ikan mempunyai wewenang melakukan tindakan karantina di kawasan karantina dan tempat-tempat lainnya yang ditetapkan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (DKP 2002).

2.1.2. Dasar Hukum Karantina Ikan

Menurut Stasiun Karantina Ikan Kelas II Tanjung Perak Surabaya (2008), dasar hukum penyelenggaraan karantina ikan adalah sebagai berikut:
a.      UU No. 16/1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan
b.      UU No. 15/2002 Tentang Karantina Ikan
c.      UU No. 62/2002 Tentang PNBP Pada Departemen Kelautan dan Perikanan
d.      KEP MEN KP No. 05/MEN/2003 Tentang Organisasi dan Tata Kerja DKP
e.      KEP MEN KP No. 15/MEN/2003 Tentang Instalasi Karantina Ikan
f.       KEP MEN KP No. 18/MEN/2003 Tentang Tindakan Karantina Ikan Untuk Pemasukan Media Pembawa HPIK dari Luar Negeri, dari Suatu Area ke Area Lain di Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
g.      KEP MEN KP No. 41/MEN/2003 Tentang Tata Cara Penetapan dan Pencabutan Kawasan Karantina
h.      KEP MEN KP No. 42/MEN/2003 Tentang Persyaratan Pemasukan Media Pembawa Berupa Ikan Hidup
i.       KEP MEN KP No. 32/MEN/2004 Tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT Karantina Ikan
j.       KEP MEN KP No. 33/MEN/2004 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Uji Standar Karantina Ikan
k.      PER MEN KP No. 03/MEN/2005 Tentang Tindakan Karantina Oleh Pihak Ketiga
l.       PER MEN KP No. 04/MEN/2005 Tentang Bentuk dan Jenis Serta Tata Cara Penerbitan Dokumen Tindakan Karantina
m.    PER MEN KP No. 05/MEN/2005 Tentang Tindakan Karantina Ikan Untuk Pengeluaran Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina
n.      International Aquatic Animal Health Code, OIE
o.      KEP MEN KP No. 16/MEN/ 2006 Tentang Penetapan Tempat-tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media (HPIK)
p.      KEP MEN KP No. 17/MEN/2006 Tentang Penetapan Jenis-jenis HPIK, Golongan, Media Pembawa dan Sebarannya
q.      Keputusan Kepala Puskari No. KEP.146/PKRI/2005 Tentang Prosedur Tindakan Karantina Ikan Untuk Pemasukan Media Pembawa HPI/HPIKUntuk Pemasukan (impor).
r.       Keputusan Kepala Puskari No. KEP.146/PKRI/2005 Tentang Prosedur Tindakan Karantina Ikan Untuk Pemasukan Media Pembawa HPI/HPIKUntuk Pengeluaran (Ekspor).
s.      KEP MEN KP No. 20/MEN/2007 Tentang Prosedur Tindakan Karantina Ikan Untuk Pemasukan Media Pembawa HPI/HPIKUntuk Pengeluaran (Domestik).
t.       PER MEN No. 20/MEN/2007 Tentang Tindakan Karantina Ikan Untuk Pemasukan Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina Dari Luar Negeri dan dari Suatu Area ke Area Lain di Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
u.      KEP MEN No. 8/MEN/2004 Tentang Tata Cara Impor Ikan Jenis Varietas Baru Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia.
2.1.3. Prosedur Karantina Ikan
Adapun prosedur yang telah ditetapkan oleh PP No.15 tahun 2002 tentang prosedur karantina, setiap media pembawa hama dan penyakit ikan Karantina yang akan diimpor, diekspor, atau antar Hama dan penyakit Ikan Karantina.
Persyaratan karantina dan prosedur yang diperlukan adalah sebagai berikut :
a.   Impor (Pemasukan)
Setiap Ikan yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia wajib dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di Negara asal dan Negara transit dan melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan.
Ikan harus dilengkapi dokumen tambahan yang dipersyaratkan oleh pihak yang berwenang serta dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina.
b.   Ekspor (Pengeluaran)
Setiap media pembawa yang akan dikeluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia wajib dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh petugas karantina, melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan dan dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina untuk keperluan tindakan karantina.
c.   Domestik
Setiap media pembawa yang dibawa atau dikirim dari suatu area lain didalam wilayah Negara Republik Indonesia wajib dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh petugas karantina ditempat pengeluaran dan ditempat transit, melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan dan dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina ditempat pemasukan dan pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina.
2.1.4. Tindakan Karantina Ikan
Tindakan Karantina Ikan yang selanjutnya disebut tindakan karantina adalah kegiatan yang bertujuan untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan karantina dari luar negeri dan dari satu daerah ke daerah lain di dalam negeri atau keluarnya hama dan penyakit ikan dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia (DKP 2002). Menurut DKP (2002), Tindakan Karantina meliputi:
a.   Pemeriksaan dokumen dan persyaratan karantina
            Kegiatan pemeriksaan dokumen dan persyaratan karantina meliputi pemeriksaan kelengkapan, keabsahan, dan kebenaran dokumen usaha pengguna jasa serta pemeriksaan kelengkapan, keabsahan dan kebenaran dokumen lalu lintas komoditi perikanan.
            Persyaratan pemeriksaan karantina, antara lain Sertifikat kesehatan (Health Certificate) Negara atau daerah asal atau transit, kecuali untuk media pembawa yang tergolong benda lain. Surat keterangan asal untuk media pembawa melalui pintu masuk atau keluar yang telah ditentukan. Surat permohonan sebagai pelaporan melalulintaskan media pembawa. Menyerahkan media pembawa kepada petugas karantina untuk dikenakan tindakan karantina. Diwajibkan melaksanakan kewajiban tambahan apabila dipersyaratkan.
b.   Mendeteksi hama dan penyakit ikan atau pemeriksaan media pembawa
            Pemeriksaan media pembawa secara visual, yaitu pemeriksaan jenis, jumlah dan ukuran media pembawa serta pemeriksaan kelainan patologis    organ-organ luar dan dalam. Selain itu, dilakukan pemeriksaan media pembawa secara laboratoris.
c.   Pengasingan dan pengamatan
Pendeteksian hama dan penyakit ikan pada media pembawa membutuhkan waktu yang lama, sarana dan kondisi khusus, dilakukan pengasingan dan pengamatan secara visual dan laboratoris di instalasi karantina ikan.
d.   Perlakuan
Perlakuan diberikan setelah dilakukan pengamatan bahwa media pembawa tertular atau diduga tertular hama dan penyakit ikan yang disyaratkan atau hama dan penyakit ikan karantina golongan II.
e.   Penahanan
            Penahanan dilakukan apabila, tidak dilengkapi sertifikat kesehatan Negara atau daerah asal dan dokumen lain yang dipersyaratkan sebagai kewajiban tambahan dikenakan masa penahanan selama 3 hari dan tidak membuat surat permohonan sebagai pelaporan atau tidak diurus bahkan tidak diketahui pemilik media pembawa yang berupa ikan hidup, ikan segar dan ikan beku dikenakan masa penahanan selama 3 hari. Untuk media pembawa selain ikan hidup, ikan mati dan atau ikan beku dikenakan masa penahanan selama   14 hari.


f.    Penolakan
Penolakan dilakukan apabila persyaratan karantina tidak dapat dipenuhi yaitu tidak dilengkapi dengan sertifikat kesehatan dari Negara atau daerah asal, tidak melalui tempat-tempat pemasukan impor yang telah ditetapkan, tidak melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran antar daerah yang telah ditetapkan, media pembawa tidak dilaporkan atau diserahkan kepada petugas karantina, tidak dapat memenuhi kewajiban tambahan, batas waktu penahanan selama tiga hari telah habis, media pembawa tertular hama dan penyakit karantina golongan I, busuk, rusak, jenis yang dilarang serta media pembawa tidak dapat disembuhkan dari hama dan penyakit ikan yang disyaratkan atau hama dan penyakit ikan golongan II setelah diberi perlakuan.
g.   Pemusnahan
            Pemusnahan dilakukan ketika batas waktu penolakan telah habis dan media pembawa tidak dapat disembuhkan atau dibebaskan dari hama dan penyakit ikan golongan I, busuk, rusak, atau jenis yang dilarang.
h.   Pembebasan
Ditandai dengan pemberian sertifikat pelepasan terhadap pemasukan atau impor atau antar daerah dan sertifikat kesehatan terhadap pengeluaran atau ekspor atau antar daerah media pembawa yang telah dilakukan tindakan karantina.
2.1.5. Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK)
            Kep Men KP No. 42/MEN/2003 menguraikan bahwa media pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK) adalah ikan dan/atau benda lain yang dapat membawa hama dan penyakit ikan karantina.
            Adanya pemasukan Media Pembawa berupa ikan hidup dari luar negeri ke Indonesia dapat memberikan peluang akan terbawanya hama dan penyakit ikan berbahaya dan dapat pula berdampak terhadap perubahan dalam keseimbangan biota dan lingkungan hidup (Kep Men KP No. 42/MEN/2003).
            Hama dan Penyakit Ikan Karantina terdiri atas dua bagian, yaitu:
a.   Hama dan Penyakit Ikan Karantina golongan I, yaitu semua hama dan penyakit ikan karantina yang tidak dapat disuci hamakan atau disembuhkan dari media pembawanya karena teknologi perlakuan belum dikuasai.
b.   Hama dan penyakit Ikan Karantina golongan II, yaitu semua hama dan penyakit ikan karantina yang dapat disuci hamakan atau disembuhkan dari media pembawanya karena teknologi perlakuannya sudah dikuasai (PP No. 15 Tahun 2002).

2.2. Sarana dan Prasarana Identifikasi Bakteri Pada Ikan
            Menurut Handjani (2005), peralatan dan bahan yang dibutuhkan pada proses pemeriksaan bakteri adalah sebagai berikut:
a)  Dessecting kit, kertas tisuue, kapas, inkubator, baki dish, tabung reaksi, jarum ose.
b)  Quinaldin 12-20 ppm/MS222 15-20 ppm, alkohol 70%.
c) 
·         Glukosa (2,5 g)
·         Agar (12,0 g)
·         Aquadest (1000,0 ml)
·         pH (7,3)
 
Medium Tryptic Soy Agar (TSA) yang terdiri dari:
·         Tryptone (17,0 g)
·         Soya Peptone (3,0 g)
·         Dipotassium Phosphate (2,5 g)
·         Sodium chloride (5,0 g)
            Menurut Hamdhani dkk. (1992), inkubator adalah alat pemanas yang dapat digunakan untuk mensterilkan peralatan atau wadah yang akan digunakan untuk menyimpan bahan awetan agar tidak mudah  basi atau busuk. Tabung reaksi adalah sebagai tempat untuk mereaksikan zat-zat kimia pada laboratorium, yang terbuat dari kaca bening dengan tujuan agar reaksi kimia yang terjadi dapat terlihat dengan jelas. Jarum ose berfungsi menginokulasi kultur mikrobia khususnya mikrobia aerob dengan metode streak.
           
2.3. Komoditas Air Tawar
Perikanan budidaya air tawar memiliki jenis ikan yang dapat dibudidayakan sangat beragam. Hal ini tentu sangat wajar karena umumnya komoditas perikanan budidaya air tawar mudah untuk dibudidayakan dan memerlukan modal yang tidak semahal pada dua subsektor lainnya. Selain itu, perikanan budidaya air juga lebih memasyarakat karena jenis ikannya lebih banyak dikenali dan sangat disukai oleh para penggemar ikan.
Ikan air tawar indonesia sangat beraneka ragam. Tersebar di perairan tawar seperti di sungai, rawa, waduk, dan danau. Ikan-ikan yang selama ini sering ditemui pada daerah-daerah tersebut sebagian sudah dapat dibudidayakan di Indonesia. Ikan-ikan ini antara lain dapat dibudidayakan dalam wadah kolam, karamba, jaring apung dan dalam wadah minapadi.
Diantara ikan-ikan yang sudah dapat dibudidayakan di Indonesia dan berkembang dengan sangat baik antara lain ikan Mas, ikan Nila, ikan Nilem, ikan Tawes, ikan Lele, ikan Patin, ikan Baung, ikan Gabus, ikan Belida, ikan Jelawat, ikan Toman, ikan Bawal, ikan Betok, ikan Betutu, ikan Gurame, ikan Mujair, ikan Sepat Siam, ikan Sidat, ikan Belut, ikan Tambakan, Udang Galah, Lobster, Kodok dan Labi-labi (Raharjo, 2010)
2.4. Penyakit Ikan
Menurut Yuasa dkk. (2003), organisme yang menyebabkan penyakit terdiri dari:
a.   Non patogen, berupa penyakit lingkungan seperti suhu dan kualitas air (pH, kelarutan gas, zat beracun), kepadatan ikan yang melebihi carrying capacity serta penyakit nutrisi seperti kekurangan nutrisi, gejala keracunan bahan pakan.
b.   Patogen, yaitu bersifat parasit yang terdiri dari penyakit viral, penyakit jamur, penyakit bakterial dan parasit. Lebih jelasnya nama penyakit oleh bakteri dan organisme penyebabnya dapat dilihat pada table 1.
Tabel 1. Nama Penyakit Oleh Bakteri dan Organisme Penyebabnya
Nama Penyakit Oleh Bakteri
Organisme Penyebab
Penyakit bercak merah/septicemia
Aeromonas hydrophyla dan Pseudomonas flurescens
Columnaris
Flexibacter columnaris
Edwardsielosis
Edwardsiella terda
Vibriosis
Vibrio sp
Tuberculosis
Mycobacterium marinum dan m. fortoitum
Sumber: Handajani (2005)
2.5.  Bakteri Aeromonas sp.
2.5.1. Definisi Bakteri
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992), bakteri adalah organisme satu sel yang mempunyai daerah penyebaran relatif luas, ukuran bakteri relatif besar dari pada virus, yaitu antara 0,3 - 0,5 mikron.
Bakteri merupakan organisme mikroskopis rata-rata berdiameter       1,25 μm (mikrometer = 1/1000000 meter). Bakteri yang terkecil adalah Dialister pneumosintes dengan panjang tubuh 0,15 - 0,30 μm, sedangkan bakteri terbesar adalah Spirillum voluntans, panjang tubuh 13 – 15 μm. Ukuran bakteri adalah mikroskopis artinya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop.

2.5.2. Klasifikasi bakteri Aeromonas sp.
Pada mulanya Aeromonas sp. dikenal dengan nama Bacilus hydrophilus fuscus. Bakteri ini pertama kali diisolasi dari kelenjar pertahanan katak yang mengalami perdarahan septisemia. Pada tahun 1936, Kluiver dan Van Niel telah mengelompokkan genus Aeromonas. Selanjutnya pada tahun 1984, Popoff telah memasukan genus Aeromonas ke dalam famili Vibrionaceae. Mikroorganisme ini secara normal dapat ditemukan dalam lingkungan perairan (Blair et al. 1999). Aeromonas sp. diisolasi dari manusia dan binatang sampai dengan tahun 1950. Bakteri ini memiliki nama sinonim A. formicans dan A. liquefaciens (Sismeiro et al. 1998).
Berikut adalah klasifikasi Aeromonas sp. (Holt et. al. 1994):
Filum             : Protophyta
Kelas             : Schizomycetes
Ordo              : Pseudanonadeles
Family           : Vibrionaceae
Genus           : Aeromonas 
Spesies         : Aeromonas sp.
2.5.3. Karakteristik Aeromonas sp.
Aeromonas sp. merupakan bakteri heterotrophic unicellular, tergolong protista prokariot yang dicirikan dengan adanya membran yang memisahkan inti dengan sitoplasma. Bakteri ini biasanya berukuran 0,7-1,8 x 1,0-1,5 µm dan bergerak menggunakan sebuah polar flagel (Kabata, 1985). Hal ini diperkuat oleh Holt et al (1994) yang menyatakan bahwa Aeromonas sp. bersifat motil dengan flagela tunggal di salah satu ujungnya. Bakteri ini berbentuk batang sampai dengan kokus dengan ujung membulat, fakultatif anaerob, dan bersifat mesofilik dengan suhu optimum 20 - 30 ºC (Kabata, 1985).
Aeromonas sp. bersifat gram negatif, oksidasi positif dan katalase positif (Krieg dan Holt, 1984). Bakteri ini juga mampu memfermentasikan beberapa gula seperti glukosa, fruktosa, maltosa, dan trehalosa. Hasil fermentasi dapat berupa senyawa asam atau senyawa asam dengan gas. Pada nutrient agar, setelah 24 jam dapat diamati koloni bakteri dengan diameter 1-3 mm yang berbentuk cembung, halus dan terang (Isohood dan Drake, 2002). Adapun bentuk bakteri Aeromonas  sp.  dapat dilihat pada gambar 2 berikut ini:
http://benihikan.net/wp-content/uploads/2010/09/gbar2-300x248.jpg
Gambar 2. Aeromonas hydrophila
(Sumber: Hayes, 2000)
Aeromonas sp. merupakan bakteri yang secara normal ditemukan dalam air tawar. Infeksi Aeromonas sp.dapat terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan, stress, perubahan temperatur, air yang terkontaminasi dan ketika host tersebut telah terinfeksi oleh virus, bakteri atau parasit lainnya (infeksi sekunder), oleh kerena itu bakteri ini disebut dengan bakteri yang bersifat patogen oportunistik (Dooley et al., 1985).
Bakteri ini dapat bertahan dalam lingkungan aerob maupun anaerob dan dapat mencerna material-material seperti gelatin dan hemoglobin. Aeromonas sp. resisten terhadap chlorine serta suhu yang dingin (faktanya jenis Aeromonas hydrophila dapat bertahan dalam temperatur rendah ± 4 ºC), tetapi setidaknya hanya dalam waktu 1 bulan (Krieg dan Holt 1984). Sebagian besar isolat Aeromonas sp. mampu tumbuh dan berkembangbiak pada suhu 37 °C dan tetap motil pada suhu tersebut. Disamping itu, bakteri Aeromanas sp. mampu tumbuh pada kisaran pH 4,7-11,0 (Fauci, 2001).

2.5.4.  Jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas sp.
Aeromonas sp. telah dihubungkan dengan beberapa penyakit pada ikan, termasuk busuk ekor, busuk sirip, dan haemorrahagic septicaemia. Haemorrahagic septicaemia ditandai oleh adanya luka kecil pada permukaan, sering mengarah pada pengelupasan sisik, pendarahan pada insang dan dubur, borok, bisul, exophthalmia (mata membengkak), dan pembengkakan perut. Pada bagian dalam, dimungkinkan adanya cairan ascitic di dalam rongga peritoneal, kekurangan darah merah, dan pembengkakan ginjal dan hati (Miyazaki dan Kage, 1985). Misalnya serangan bakteri Aeromonas sp. pada belut yang menyebabkan penyakit sirip merah seperti terlihat pada Gambar 3.
http://benihikan.net/wp-content/uploads/2010/09/belut-300x210.jpg
Gambar 3. Penyakit sirip merah pada belut yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila
(Sumber: Hayes, 2000)

Agen etiologik dipindahkan secara horisontal (antar binatang selain dari induk dan keturunan) tetapi tidak secara vertikal (dari induk ke keturunan). Bakteri memperbanyak diri di dalam usus, menyebabkan suatu radang haemorrhagic mucuous-desquamative (pengeluaran lendir berlebihan). Metabolit beracun Aeromonas hydropila diserap dari usus dan menginduksi keracunan. Pendarahan pada kapiler terjadi di permukaan sirip dan di submukosa perut. Sel hepatik dan epitel dari tubulus ginjal menunjukkan adanya degenerasi. Glomeruli dihancurkan dan jaringan menjadi berdarah, dengan eksudat dari serum dan fibrin (Miyazaki dan Jo, 1985).
Penjangkitan penyakit biasanya berhubungan dengan perubahan kondisi lingkungan. Stres, overcrowding (populasinya padat), suhu tinggi, perubahan suhu secara mendadak, penanganan yang kasar, transfer ikan, rendahnya oksigen terlarut, rendahnya persediaan makanan, dan infeksi fungi atau parasit, berpengaruh pada perubahan fisiologis dan menambah kerentanan terhadap infeksi. Infeksi penyakit ikan yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hidrophyla dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini:
http://benihikan.net/wp-content/uploads/2010/09/morfologi-infeksi-216x300.jpg

Gambar 4. Infeksi Aeromonas hydrophila pada ikan
(Sumber: Hayes, 2000)

Menurut Kordi dan Gufron (2004), Aeromonas salmonicida merupakan penyebab penyakit furunculosis. Bakteri ini terutama menyerang ikan salmon dan menimbulkan kerugian yang sangat besar, sistemiknya ditunjukkan oleh cirri-ciri seperti :
1.      Bentuk sangat akut (per-acute) pada ikan seukuran jari (finger-lings); ikan menjadi berwarna lebih gelap (melanosis) dan mengalami kematian dengan cepat anda-tanda yang teramati sebelumnya.
2.      Betuk akut;tanda-tanda yang tampak sebelumnya yaitu anoreksia yang berlangsung 2-3 hari sebelum kematian.
3.      Sub-akut; bentuk ini merupakan bentuk yang paling lambat dimulai dengan tanda-tanda klinik berupa haemoragik petekhial (petechial haemorrhages, pendarahan akibat pecahnya pembuluh kapiler) pada kulit dan sekitar sirip. Ikan akan menampakkan perubahan warna dan anoreksia, selanjutnyamengalami kematian 4-6 hari sejak tanda-tanda klinis awal muncul.
4.      Kronik; bentuk ini teramati pada ikan-ikan yang mampu bertahan hidup pada serangan sub-akut dan ditunjukkan dengan sembuhnya borok dan luka.
Aeromonas salmonicida tidak hanya menyerang ikan salmonid, akan tetapi bakteri ini juga dapat menyerang ikan air tawar seperti mas koki, koi, karper dan lele. Bakteri ini mengefeksi bagian luar dari tubuh ikan, seperti kulit dan insang ikan. Namun, selain di permukaan tubuh ikan, A.salmonicida juga menyerang saluran pencernaan ikan. Penyakit akibat bakteri ini sangat mudah menular pada ikan lain yang berada disekitar ikan yang terkena penyakit. Penularan penyakit dapat dibagi menjadi 2, yaitu penularan secara vertical dan horizontal. Penularan vertical adalah penularan penyakit dari induk ke progeninya, sedang penularan horizontal adalah penularan penyakit ke ikan lain melalui kontak langsung, vector, peralatan yang terkontaminasi, atau lingkungan (Kordi dan Gufron, 2004).
Menurut Septiama, dkk (2008), Ikan-ikan yang telah terkontaminasi bakteri Aeromonas sp. dapat ditandai dengan melihat ciri-ciri sebagai berikut :
1.    Lesi terjadi secara subkutan dengan pembengkakan sehingga menyebabkan ulcerative dermatitis (furunculosis).
2.    Pembengkakan biasanya menjadi luka terbuka berisi nanah, darah, dan jaringan yang rusak di tengah luka tersebut terbentuk cekungan (bentuknya seperti kaldera).
3.    Pada serangan akut tanda-tanda yang menyeluruh mungkin tidak tampak.
4.    Hemorhagi pada dasar sirip dan dan sirip dorsal geripis.
5.    Mata menonjol (eksopthalmia).
6.    Warna tubuh menjadi lebih gelap.
            Menurut Khairuman (2002), Aeromonas hydrophilla dan Aeromonas carviae menyebabkan penyakit “Bakterial Gill Disease” (BGD) pada ikan mas di daerah Subang. Adapun gejala ikan mas yang terserang penyakit tersebut di antaranya terdapat bercak kemerahan pada tubuh ikan di permukaan bagian bawah dan atas, kulit bagian luar terkelupas dan berlanjut menjadi borok, insang terlihat mengalami nekrosis dan kongesti, dan lamela insang saling melekat satu dengan yang lainnya.
2.6. Prosedur Pemeriksaan Penyakit Bakterial
2.6.1. Diagnosa Bakteri
            Menurut Dealani (2006), diagnosa ataupun pemeriksaan penyakit bakteri pada ikan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pemeriksaan tubuh bagian luar dan pemeriksaan tubuh bagian dalam.
a.   Pemeriksaan tubuh bagian luar (External Examination)
            Dalam pemeriksaan ini perlu dicatat gejala-gejala khusus yang ada pada tubuh bagian luar ikan seperti kekurangan lendir, tubuh kasar, bentuk tubuh tidak normal, kerusakan pada sirip, adanya exophathalmus, perubahan warna pada tubuh, adanya cyste, adanya luka/borok (ulcer) dan lain-lain.


b.   Pemeriksaan organ dalam
            Pemeriksaan dilakukan dengan membedah tubuh ikan kemudian dicatat gejala-gejala yang tidak normal pada tubuh ikan bagian dalam seperti perubahan warna ginjal, insang, adanya cairan berlebih dalam rongga tubuh dan lain-lain.
2.6.2. Pengambilan Sampel
            Menurut Handajani (2005), teknik pengambilan sampel yang meliputi sampling, proses dan pengirimannya merupakan tahapan yang perlu diperhatikan dalam mendiagnosa suatu penyakit. Sampel yang perlu dipersiapkan tergantung dari tujuan dan metode dilakukan diagnosis. Untuk tujuan pemeriksaan bakteri, maka sampel ikan harus dalam keadaan hidup, karena sampel yang sudah mati umumnya beberapa jenis bakterinya sudah rusak sehingga sulit dikenali.
2.6.3. Metode Pemeriksaan Bakteri Pada Ikan
Tahap pemeriksaan bakteri pada ikan diawali dengan ikan di bius dengan Quinaldin 12 - 20 ppm selama 5 - 10 menit atau MS222 15 - 20 ppm selama 3 - 10 menit. Kertas tissue atau kapas diletakkan di bagian tubuh luar ikan, kemudian ditetesi dengan alkohol 70% secukupnya dan dibiarkan selama 10 - 15 menit. Bagian perut ikan dibedah secara aseptic kemudian jaringan dari      organ-organ hati, limpa, jantung dan luka di kulit atau pada organ-organ lain yang diduga terserang penyakit, diambil atau ditusuk dengan jarum ose kemudian digoreskan/diinokulasikan pada media Trytic Soy Agar (yang telah dimasukkan dalam Petri dish steril sebanyak 15 - 20 ml) dan diinkubasikan pada suhu 300C selama 24 jam.
Koloni-koloni yang tumbuh pada TSA dipilih menurut bentuk dan warna koloni kemudian diinokulasikan pada tabung reaksi yang berisi media TSA miring. Apabila koloni-koloni tersebut belum terpisah, maka harus dipisahkan dahulu dengan cara mengencerkan koloni tersebut dan mengambilnya dengan jarum ose. Lalu diinokulasikan secara zig-zag pada medium TSA miring (dalam tabung reaksi) dan diinkubasikan pada temperatur kamar selama 24 jam untuk mendapatkan biakan murni dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan selanjutnya (Handajani 2005).
2.6.4. Uji Fisiologi dan Biokimia
            Uji fisiologi dan biokimia dilakukan untuk menentukan genus dan spesies bakteri, yang terdiri dari Pewarnaan Gram, Sitokrom Oksidase, Oksidatif-Fermentatif, Mortalitas, Glukosa, Dekarboksilase, Uji sensifitas, H2S, S. S Agar (Salmonella, Shigella agar), Manitol dan inositol serta Garam NaCL 7,5% (Handajani 2005).
a.   Pewarnaan Gram
            Menurut Handajani (2005) pewarnaan gram adalah salah satu prosedur yang paling banyak digunakan untuk mencirikan banyak bakteri. Pewarnaan Gram juga merupakan pewarnaan diferensial yang membedakan bakteri dalam dua kelompok yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Reagen yang dipergunakan:
·         Kristal violet yang terdiri dari larutan A (Kristal violet 2,0 g, Alkohol 95% 20,0 ml) dan larutan B (Ammonium Oxalate 0,8 g, Aquadest 80,0 ml, larutan A + B).
·         Larutan Iodine yang terdiri dari Iodine 1,0 g, Potassium iodine 2,0 g dan Aquadest 300,0 ml.
·         Karbon fuchsin yang terdiri dari larutan A (Fuchsin 0,3 g, Alkohol 10,0 ml) dan larutan B (Phenol 5,0 g, Aquadest 95,0 ml dan larutan A + B kemudian diencerkan 10 kali dalam aquadest.
b.   Sitokrom Oksidase
            Uji ini untuk mengetahui bahwa bakteri dapat menghasilkan enzim oksidae. Larutan oksidase atau oksidase reagen (yang terdiri dari                        1 gram p- Aminidemethyllaniline oxalate dilarutkan dalam 100 ml aquadest yang telah dididihkan, kemudian dituangkan pada botol warna gelap dan disimpan dalam kulkas) diteteskan pada kertas saring, kemudian koloni bakteri digoreskan pada kertas tersebut dengan mempergunakan platinum atau kaca. Warna biru yang segera timbul pada goresan di kertas menunjukkan bahwa bakteri yang diuji adalah mempunyai enzim oksidase. Jika tidak timbul warna biru, berarti tidak mempunyai enzim oksidase (Handajani, 2005).
c.   Oksidatif-fermentatif
            Medium yang dipergunakan adalah O - F Medium (Hugh dan Leifson Medium) yang terdiri dari Peptone (2,0 g), Sodium chloride (5,0 g), Dipotassium phosphate (0,3 g), Agar (3,0 g), Bromtymol blue (0,08 g), Aquadest (1000,0 ml), Glukosa (1%) dan pH (7,1). Medium ini disterilkan pada suhu 1180C selama      10 menit (Handajani, 2005).
d.   Motalitas
            Pergerakan bakteri dapat dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Caranya, suspensi bakteri umur 24 jam diletakkan 1 tetes di atas tutup kaca (cover glass), sisi kaca diolesi dengan paraffin kemudian ditempelkan pada obyek glass dan dilihat di bawah mikroskop gerakan bakteri yang diperiksa (Handajani 2005).
e.   Glukosa
            Medium yang dipergunakan adalah Karbonat broth yang terdiri dari Pepton (10,0 g), Beef extract (1,0 g), Sodium chloride (5,0 g),                       Phenol red (0,018 g), Aquadest (1000,0 ml) dan Karbonat 1% (glukosa, manitol dan inositol). Medium ini disterilkan pada suhu 1180C selama 15 menit.
            Uji ini dilakukan dengan menginokulasikan bakteri umur 24 jam dalam medium glukosa yang mempunyai tabung Durham, kemudian diinkubasi pada suhu 300C selama 24 jam. Perubahan warna merah menjadi kuning dan adanya gas dalam tabung Durham menunjukkan bahwa bakteri dapat mencegah glukosa menjadi suasana asam dan menghasilkan gas (Handajani, 2005).
f.    Dekarboksilase
            Medium yang dipergunakan Dekarboksilase terdiri dari Pepton (5,0 g), Yeast extract (3,0 g), Glukosa (1,0 g), Bromcresol purple (0,02 g), Aquadest (1000,0 ml) dan pH (6,8). Medium ini secara terpisah ditambah masing-masing 1% L-lysine, L-arginie dan L-ornithine kemudian disterilkan pada suhu 1210C selama 15 menit.
            Uji ini untuk mengetahui adanya enzim dekarbonase yang dihasilkan oleh bakteri. Bakteri umur 24 jam diinokulasi pada medium ini dan diinkubasi pada suhu 300C selama 48 jam. Bakteri yang menghasilkan enzim karbonase akan dapat mengubah warna medium dari ungu (violet) menjadi biru (Handajani 2005).
g.    Uji Sensitifitas
            Uji ini dilakukan dengan menggunakan disk yang mengandung zat 0/129 150 ug. Disk diletakkan pada permukaan medium TSA yang telah diinokulasikan bakteri, kemudian diinkubasikan pada suhu 300C selama 24 jam. Bakteri       Vibrio sp sensitif terhadap zat ini yang ditandai dengan adanya zone hambatan  di sekitar atau lingkaran yang mengelilingi disk yang diletakkan, sedangkan Aeromonas sp tidak sensitif terhadap zat ini (Handajani, 2005).
h.   H2S
            Uji ini menggunakan medium Pepton Agar yang terdiri dari Pepton     (25,0 g), Sodium chloride (5,0 g), Aquadest (1000,0 ml) dan pH (7,2). Medium ini disterilkan pada suhu 1210C selama 15 menit.
            Uji ini dilakukan dengan menginokulasikan bakteri pada medium Pepton cair, kemudian diletakkan kertas yang mengandung Pb-asetat di mulut tabung dan diinkubasikan pada suhu 300C selama 24 jam. Bakteri penghasil asam sulfida (H2S) dapat menghitamkan kertas Pb-asetat (Handajani, 2005).
i.    Manitol dan inositol
            Medium yang dipergunakan terdiri dari Pepton (10,0 g), beef extract    (1,0 g), Sodium chloride (5,0 g), Phenol red (0,018 g), Aquadest (1000,0 ml), Manitol atau inositol (1,0%). Medium ini disterilkan pada suhu 1180C selama 15 menit.
            Uji ini dilakukan dengan menginokulasikan bakteri pada medium kaldu yang mengandung manitol atau inositol 1%, kemudian diinkubasikan pada suhu 300C selama 24 jam. Bakteri pemecah manitol atau inositol dapat merubah warna medium dari merah menjadi kuning yang berarti medium bersifat asam Handajani, 2005).
2.7. Pencegahan dan Penanganan Penyakit Bakteri Aeromonas sp. Pada Proses Budidaya
            Menurut Pusat Penyuluh Perikanan (2011), upaya pencegahan yang dilakukan agar ikan terhindar dari penyakit yaitu sebagai berikut :
-        Melakukan persiapan lahan yang benar, yaitu pengeringan dan pemupukan. Pengeringan bertujuan untuk memutus siklus hidup penyakit. Dilakukan kira-kira selama tiga minggu sampai dasar kolam retak-retak. Pengapuran digunakan untuk menstabilkan pH tanah dan air serta dapat membunuh bakteri dan parasit. Pemupukan digunakan untuk menyuburkan kolam dan menumbuhkan fitoplankton sebagai pakan alami.
-        Menjaga kualitas air pada saat pemeliharaan. untuk itu dapat dilakukan treatment probiotik secara teratur 0,3 ppm setiap hari. Probiotik akan mendegradasikan bahan organik, menguraikan gas beracun dan menekan pertumbuhan bakteri merugikan penyebab timbulnya bakteri.
-        Meningkatkan ketahanan tubuh ikan melalui kekekbalan non spesifik dengan aplikasi imunostimulant secara teratur seperti vitamin,  glukan, dan pemberian probiotik.
Ikan yang sudah positif terserang Aeromonas sp, bisa diobati dengan obat antibiotik, melalui penyuntikan, perendaman, bisa juga dicampur pakan. Jenis obat yang digunakan bisa Chloraphenicol (kemicetin), Oxytetracyclin atau Streptomycin. Tiap kapsul berisi 250 mg dan dilarutkan kedalam air 500 liter. Larutan ini kemudian digunakan untuk merendam ikan selama 2 jam. Lakukan hal tersebut sehari sekali sampai 5 kali atau sampai ikan benar-benar sembuh (Irawan, 2000).
            Pengobatan bisa pula menggunakan larutan Kalium Permanganat (PK) dengan dosis 2 gr/10 liter air atau 1,5 sendok teh PK/100 liter air. Rendam ikan yang akan diobati dalam larutan tersebut selama 30 - 60 menit sambil terus diawasi. Bila ikan menunjukkan gejala keracunan, segera pindahkan ke air segar. Bila belum sembuh betul, pengobatan diulangi 3 - 4 kali berturut-turut (Irawan 2000).

III.   METODOLOGI
3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Kerja Praktek Akhir ini akan dilaksanakan di Balai Uji Standar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Jakarta Timur mulai tanggal 11 Maret – 27 April 2013 dengan jurnal yang terlampir pada Lampiran 1.

3.2. Metode Kerja Praktek Akhir
Untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam hal teknik identifikasi penyakit bakteri Aeromonas sp. pada ikan air tawar pada kegiatan Kerja Praktek Akhir ini, maka penulis menggunakan metode magang dan survey. Metode magang yaitu penulis mengikuti serta berpartisipasi secara langsung dalam semua kegiatan yang berhubungan dengan proses identifikasi penyakit bakteri Aeromonas sp. Pada air tawar yang dilaksanakan di tempat KPA dibawah bimbingan pembimbing eksternal.
Menurut Nazir (1988), metode survey adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan   mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi, ekonomi atau politik dari suatu kelompok maupun suatu daerah.

3.3. Sumber Data
Data yang akan diambil dalam pelaksanaan KPA ini berupa data primer dan data sekunder. Menurut Subagyo (1991), data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber ditempat, sedangkan data sekunder merupakan data atau informasi yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya atau berasal dari bahan kepustakaan.
Data yang akan diambil untuk data primer antara lain hasil pengamatan langsung selama pelaksanaan praktek, hasil dari partisipasi dan hasil wawancara dengan nara sumber. Sedangkan untuk data sekunder yang akan diambil diantaranya data stuktur organisasi, letak geografis, batas wilayah dan lain-lain.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Narbuko dan Achmadi (2001), teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ada tiga cara yaitu:
a.   Observasi, adalah cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diamati. Jenis observasi yang digunakan adalah observasi partisipan dimana penulis yang melakukan observasi turut ambil bagian atau berada dalam keadaan obyek yang di observasi.
b.   Wawancara, yaitu pengambilan data dengan  cara tanya jawab langsung (berkomunikasi langsung) yang dilakukan dengan dua orang atau lebih, bertatap muka dan mendengarkan informasi atau keterangan dari  pihak-pihak terkait. Adapun daftar pertanyaan dalam melakukan wawancara pada kegiatan KPA ini dapat dilihat pada Lampiran 2.
Adapun data teknis yang akan diambil dan dikumpulkan dapat dilihat pada tabel 2  berikut ini :
Tabel 2. Data teknis yang akan diambil
No
Data yang akan diambil
Sumber Data
Analisis Data
Primer
Sekunder
1
2
3
4
5
1
Proses pengambilan sampel
Ö

Observasi & wawancara
2
Sarana dan prasarana BUSKIPM
Ö

Observasi & Wawancara
3
Proses identifikasi bakteri Aeromonas sp. Pada ikan air tawar
Ö

Observasi & wawancara
4
Tindakan hasil identifikasi
Ö

Observasi & wawancara
1
2
3
4
5
5
Struktur organisasi BUSKIPM

Ö
Wawancara
6
Letak Geografis BUSKIPM

Ö
Wawancara
7
Batas wilayah BUSKIPM

Ö
Wawancara
Sumber : Data Primer, 2013

3.5. Metode Pengolahan Data
Setelah data primer dan data sekunder terkumpul kemudian data tersebut diolah dengan cara:
a.   Editing: Menurut Narbuko dan Achmadi (2001), editing adalah memeriksa daftar kuisioner yang telah dijawab. Tujuannya untuk mengurangi kesalahan atau kekurangan yang ada dalam daftar pertanyaan yang sudah diselesaikan.
b.   Tabulating: Menurut Nazir (1988), tabulating yaitu memasukkan data ke dalam tabel-tabel dan mengatur angka-angka sehingga dapat dihitung jumlah kasus dalam berbagai kategori.

3.6. Analisis Data
Analisis data diarahkan untuk mengetahui teknik pengujian-pengujian dalam identifikasi penyakit bakterial ikan yang diambil dari organ target seperti insang, ginjal, hati, atau luka yang terdapat pada permukaan kulit. Selain itu analisa data diarahkan untuk memperoleh keterampilan pelaksanaan dalam mengidentifikasi penyakit bakterial ikan dan kelengkapan alat dan bahan yang digunakan untuk identifikasi penyakit bakterial ikan dengan menggunakan analisis deskriptif.
Menurut Narbuko dan Achmadi (2001), analisis deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan, menyajikan data, menganalisis dan menginterprestasikan keadaan subjek atau objek peneliti/lembaga, masyarakat dan lain-lain. 
3.7.  Rencana Kegiatan
Adapun rencana kegiatan yang akan dilaksanakan dalam Kerja Praktek Akhir ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

DAFTAR PUSTAKA

Ade. 1994. Mencari Primadona Baru Ikan Air Tawar. Majalah Agrobis. Surabaya.

Afrianto, Liviawati E. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2003. Quick Look Riset Kelautan dan Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Blair, et al. 1999. Food Studies Research unit, university of ulstrerat Jordanstom, co. Antrim, Northem Ireland, Aeromonas / introduction 25.

Cahyono B. 2000. Budidaya Ikan Air Tawar. Kanisius. Yogyakarta.

Dealani D (2001). Agar Ikan Sehat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Peraturan Pemerintah Indonesia No. 15 Tahun 2002. http://bpkp.go.id/unithukum/pp/2002/015-02.pdf            [2 Januari 2013]
Dooley, et al. 1988. Surface Protein composition of Aeromonas hydrophila virulent for fish : identification of an S-layer protein J. Bacteriol. 170: 499-506
Dwidjoseputro D (2005). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.

Esa. 1994. Supermarket AS Butuhkan 100 Ton Nila Merah per Bulan. Majalah Agrobis. Surabaya.

Fauci A. 2001. Pengaruh Pemberian Levamisol dan Saccharomyces cereviceae Dosis 60 ppm terhadap Gambaran Darah Ikan Mas (Cyprinus carpio) yang Diinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila (skripsi). Bogor: fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Petanian Bogor.

Hamza A. 2010. Penyakit Yang Disebabkan Oleh Bakteri. http://www.scribd.com/doc/21382789/Penyakit-bakteri [2 Januari 2013]

Handajani H, Sri S. 2005. Parasit dan Penyakit Ikan. Universitas Muhamadiyah Malang. Malang.

Hamdhani H, Evi L, Syamsudin A R, Eddy A. 1992. Kamus Istilah Perikanan. Kanisius. Yogyakarta.

Hayes, J., 2000. Aeromonas hydrophila. Oregon State University. http://hmsc.oregonstate.edu/classes/MB492/hydrophilahayes Tanggal akses: 13 December 2006

Holt JG, Kreig NR, Sneath PHA, Staley JT, 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. United States of America Baltmore: Williams & wilkins Company
Isohood JH, Drake M. 2002. Review : Aeromonas species in foods. J. Food Prot 65 : 575-582

Irawan A (2000). Menanggulangi Hama dan Penyakit Ikan. Aneka. Solo.

Kabata Z. 1985. Parasites and Disease of Fish Cultured in Tropics. London and Philadelphia: Taylor and Francis Press
Khairuman. (2002). Wabah Penyakit Bakteri Pada Ikan. http://www.pikiran-rakyat.com/wabah penyakit bakteri pada ikan.htm [2 Januari 2013]
Kordi K, ghufron H.  2004.  Penanggulanagn Hama dan Penyakit Ikan.  Rineka Cipta dan Bina Adiaksara. Jakarta.
Kreig NR, Holt JG. 1984. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. Ed ke_1. United States of America Baltimore : Williams & Wilkins Company.
Miyazaki, T. and Kaige, N. 1985. A histopathological study on motile aeromonas disease in Crucian carp. Fish Pathology. Edisi 21: halaman 181–185.
Miyazaki, T. and Jo, Y. 1985. A histopathological study on motile aeromonad disease in ayu. Fish Pathology. Edisi 20: halaman 55–59.

Narbuko dan Achmadi (2001). Metodologi Penelitian. Bumi Aksara. Jakarta.

Nazir (1993). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

 Pusat Karantina Ikan. 2005. Pelatihan Dasar Karantina Ikan Tingkat Terampil. Jakarta.


Pusat Penyuluh Perikanan. 2011. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit pada Budidaya Ikan. http://pusluh.kkp.go.id/index .php/arsip/c/35/  [15 Januari 2013]

Puskari (2005). Tindakan Karantina Ikan http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/30/tindakan-karantina-ikan/  [2 Januari 2013]

Rahardjo A. 2010. Komoditas Ikan Air Tawar di Indonesia. http://benihikan. net/kabar/komoditas-budidaya-air-tawar-di-indonesia/ [3 Januari 2013]

Septiama dkk. 2008. Metode Standar Pemeriksaan HPIK Golongan Bakteri Aeromonas Salmonicida. Pusat Karantina Ikan departemen Kelautan dan Perikanan.  Jakarta
Stasiun Karantina Ikan Kelas II Tanjung Perak Surabaya (2008). Prosedur Tindakan Karantina. Surabaya.

Sismeiro et al. 1998. Aeromonas hydrophila Adenylyl Cyclase: a New Class of Adenylyl Cyclase with Thermopphilic Properties and Sequences Similiarities to Proteins From Hyperthermophilic Archaebacteria. J Bakteriol 180:3339-3344
Subagyo (1991). Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Bumi Aksara. Jakarta.
 Suprastyani dkk (1999). Upaya peningkatan Proteksi Ikan Mas koki (Carrasius turatus) var Tosa sebagai komoditas Ekspor Dengan Cara imunisasi maternal Anti Aeromonas hidropyla. Jurnal Penelitian Perikanan. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang.
Supriyadi H (2002). Pengendalian dan Pembuatan Media Penyakit Ikan Golongan Bakteri. Jakarta.

Yuasa K, Isti K, D Roza, Ketut M, F Johnny (2003). Panduan Diagnosa Penyakit Ikan. Departemen Kelautan dan Perikanan Jambi [BBAT] Balai Budidaya Air Tawar Jambi, Ditjen Perikanan Budidaya, DKP dan JICA. Jambi.