TEKNIK IDENTIFIKASI PENYAKIT BAKTERI Aeromonas
sp. PADA IKAN AIR TAWAR DI BALAI UJI STANDAR KARANTINA IKAN PENGENDALIAN MUTU DAN
KEAMANAN HASIL PERIKANAN (BUSKIPM) JAKARTA TIMUR
PROPOSAL KARYA ILMIAH PRAKTEK AKHIR
JURUSAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERIKANAN
OLEH :
MUHAMMAD KHAIRI MIZWAR SIAGIAN
NIT. 10.3.02.119
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN
PERIKANAN
BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN
AKADEMI PERIKANAN SIDOARJO
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki perairan tawar yang sangat luas dan berpotensi besar
untuk usaha budidaya berbagai macam jenis ikan air tawar (Ade 1994). Secara
ekonomis, usaha budidaya ikan air tawar sangat menguntungkan karena ikan ini memiliki
nilai ekonomi yang tinggi serta sangat mendukung bagi pemenuhan gizi masyarakat
(Cahyono, 2000). Selain itu, Menurut Esa (1994),serapan pasar ikan air tawar
tidak hanya terbatas di dalam negeri, melainkan hingga pasar Internasional.
Menurut Cahyono (2000), ikan air tawar adalah ikan
yang menghabiskan sebagian atau seluruh hidupnya di air tawar, seperti sungai dan danau, dengan salinitas kurang dari 5 ppt. Dalam banyak hal,
lingkungan air tawar berbeda dengan lingkungan perairan laut, dan yang paling membedakan adalah
tingkat salinitasnya. Empat
puluh satu persen dari seluruh spesies ikan diketahui berada di air tawar.
Serangan penyakit pada
ikan dapat timbul sewaktu-waktu, bersifat eksplosif (meluas),
penyebarannya cepat dan seringkali menimbulkan kematian yang cepat pula.
Penyakit ikan yang disebabkan oleh parasit, bakteri, jamur, virus, faktor
lingkungan dan nutrisi atau makanan (Cahyono, 2000).
Puskari (2005)
menyatakan bahwa upaya pencegahan melalui
tindakan karantina terhadap ikan-ikan yang diterima baik itu dari domestik atau diimpor dari luar negeri maupun yang dilalulintaskan di dalam
wilayah Indonesia harus dilakukan untuk mencegah masuknya jenis-jenis bakteri
yang belum terdapat atau sudah terdapat di Indonesia tetapi belum tersebar
luas. Hal ini dikarenakan, Karantina ikan sebagai filter
masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan karantina, mempunyai peranan yang
semakin penting dan strategis.
Menurut Pusat Karantina Ikan (2005), Karantina Ikan adalah tindakan
sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan karantina dari luar negeri dan dari suatu area ke
area lain di dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia. Tindakan karantina meliputi pemeriksaan,
pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan
pembebasan.
Pembangunan kelautan dan perikanan dimasa mendatang diharapkan
menjadi sektor andalan dalam menopang perekonomian negara sehingga perlu
dilakukan pemanfaatan sumber daya alam kelautan dan perikanan yang lebih
intensif. Salah satu peluang ekspor adalah ikan hias yang cukup diminati di
pasar nasional maupun pasar internasional. Ikan hias yang sering diekspor
adalah ikan Mas Koki, sedangkan untuk ikan konsumsi jenis ikan air tawar yang
banyak diminati adalah ikan Gurame, ikan Lele dan ikan Nila (Suprastyani dkk. 1999).
Meningkatnya frekuensi dan volume komoditi perikanan yang
dilalulintaskan dari/ke luar negeri maupun antar area di dalam negeri melalui
pintu-pintu masuk/keluar, sangat berpengaruh terhadap meningkatnya resiko
terbawanya hama dan penyakit ikan berbahaya. Oleh karena itu, kehandalan dan
pelayanan prima karantina ikan yang dalam pelaksanaan tugasnya berada di
pintu-pintu masuk/keluar sangatlah penting untuk ditingkatkan (Puskari, 2005).
Namun akhir-akhir ini terjadi penurunan terhadap poduksi ikan Mas
Koki, ikan Gurame, ikan Lele dan ikan Nila. Penyebab menurunnya produksi ikan
Mas Koki adalah penyakit bakteri yang dikenal dengan Aeromonas sp. Menurut Supriyadi (1989) dalam Badan Riset Kelautan
dan Perikanan (2003), penyebab menurunnya produksi Gurame adalah bakteri Mycobacterium sp. Penyakit Streptococcosis juga menyebabkan
penurunan produksi ikan Nila Gift.
Beberapa jenis bakteri yang terdapat
di Indonesia namun belum tersebar luas, yaitu Aeromonas salmonicida dan Edwardsiella tarda di Jawa, Mycobacterium
sp. di Jawa dan Sumatera serta Streptococcus sp. di
Sulawesi (Hamza 2010)Bakteri biasanya memiliki ukuran 0,5 - 5 μm,
meski ada jenis dapat menjangkau 0,3 mm dalam diameter (Thiomargarita). Mereka umumnya memiliki dinding sel, seperti sel tumbuhan dan jamur, tetapi
dengan bahan pembentuk sangat berbeda (peptidoglikan). Banyak bakteri yang bergerak
menggunakan flagela,
yang berbeda dalam strukturnya dari flagela kelompok lain (Dwidjoseputro, 2005).
Menurut Hamza (2010),
bakteri terdapat disekitar sistem perairan.
Apabila ikan mengalami stress maka bakteri yang terdapat pada perairan tersebut dapat menimbulkan penyakit. Pada umumnya sumber dan cara
penularan penyakit akibat serangan bakteri-bakteri antara
lain melalui ikan yang sakit, ikan karir, air yang terkontaminasi, makanan yang
terkontaminasi, telur yang terkontaminasi, alat atau pakaian
yang terkontaminasi atau melalui bulu burung air.
Bertitik tolak
dari besarnya keinginan penulis untuk mengetahui semua tindakan yang dilakukan
karantina, termasuk di dalamnya teknik identifikasi penyakit khususnya bakteri Aeromonas sp. Maka pada Kerja Praktek
Akhir ini penulis mengambil judul Teknik Identifikasi Penyakit Bakterial Jenis Aeromonas sp. Pada Ikan Air Tawar yang
Dilalulintas Di Balai Uji Standar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan (BUSKIPM) Jakarta Timur.
1.2. Maksud dan Tujuan
1.2.1. Maksud
Pelaksanaan
Kerja Praktek Akhir ini dimaksudkan untuk:
a.
Mempelajari prosedur identifikasi penyakit bakterial di Balai Uji
Standar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Jakarta
Timur.
b.
Mengetahui prosedur tindakan karantina
c.
Mengetahui tingkat penyebaran penyakit khususnya yang disebabkan
oleh bakteri Aeromonas sp. pada ikan
air tawar.
1.2.2. Tujuan
Dengan pelaksaan kegiatan Kerja Praktek Akhir ini diharapkan
mencapai tujuan akhir untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan dalam hal
teknik identifikasi bakteri Aeromonas sp.
khususnya ikan air tawar di Balai Uji Standar Karantina Ikan, Pengendalian
Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Jakarta Timur.
1.3. Pendekatan Masalah
Karantina ikan mutlak diperlukan oleh para petani ikan bila akan
menerima ataupun mengirimkan ikan. Tindakan karantina ini untuk mencegah
tersebarnya penyakit dan parasit ikan yang berasal dari suatu daerah atau pulau
ke daerah atau pulau lain.
Demikian juga untuk tujuan ekspor dan impor perlakuan karantina
perlu dilakukan demi memperlancar penerimaan ikan di tempat tujuan karena
adanya jaminan terhadap kesehatan ikan (Dealani 2001).
Salah satu penyebab penyakit ikan
yang sering ditemukan adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas sp.
Dengan adanya karantina ikan,
untuk mengasingkan dan mengidentifikasi bakteri yang diduga merupakan penyebab
penyakit ikan maka dilakukan pemeriksaan penyakit ikan golongan bakteri. Pemeriksaan
penyakit bakterial ini meliputi sterilisasi peralatan, pemeriksaan sampel dan
identifikasi bakteri yang meliputi pewarnaan gram serta uji biokimia.
Dari hasil pemeriksaan akan diketahui jenis bakteri yang
menginfeksi komoditi yang dilalulintaskan. Apabila bakteri yang menginfeksi
termasuk Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK) golongan I maka dimusnahkan,
sedangkan apabila HPIK golongan II maka akan diberi perlakuan berupa pengobatan
dan apabila masih tidak bisa disembuhkan maka akan dimusnahkan. Setelah
dilakukan tahap perlakuan, maka dilakukan evaluasi untuk mencegah timbulnya
penyakit baru baik dari input maupun proses pemeriksaan. Komoditi yang bebas
dari infeksi bakteri HPIK dapat disembuhkan akan dibebaskan dan akan diberi
Sertifikat Kesehatan Ikan. Alur pendekatan masalah dapat dilihat pada Gambar 1.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Karantina
Ikan
Menurut PP No. 15 Tahun 2002 pasal 1
angka 1 tentang karantina ikan, karantina Ikan adalah tindakan sebagai upaya
pencegahan masuk dan tersebarnya Hama dan Penyakit Ikan Karantina dari luar
negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari
dalam wilayah Negara Republik Indonesia (DKP, 2002).
2.1.1. Wilayah Kerja
Seperti yang tercantum dalam Kepmen
tentang wilayah kerja karantina di Indonesia
Bab V pasal 21 Tahun 2002 Wilayah kerja yang dapat diinformasikan bahwa
Balai Karantina memiliki 5 unit kerja, Stasiun Karantina Ikan Kelas I sebanyak
17 unit kerja, dan Stasiun Karantina Ikan Kelas II sebanyak 21 unit kerja.
Balai dan Stasiun Karantina Ikan mempunyai wewenang melakukan tindakan
karantina di kawasan karantina dan tempat-tempat lainnya yang ditetapkan
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (DKP 2002).
2.1.2. Dasar Hukum Karantina Ikan
Menurut Stasiun Karantina Ikan Kelas
II Tanjung Perak Surabaya (2008), dasar hukum penyelenggaraan karantina ikan
adalah sebagai berikut:
a.
UU No. 16/1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan
b.
UU No. 15/2002 Tentang Karantina Ikan
c.
UU No. 62/2002 Tentang PNBP Pada Departemen Kelautan dan
Perikanan
d.
KEP MEN KP No. 05/MEN/2003 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja DKP
e.
KEP MEN KP No. 15/MEN/2003 Tentang Instalasi Karantina
Ikan
f.
KEP MEN KP No. 18/MEN/2003 Tentang Tindakan Karantina
Ikan Untuk Pemasukan Media Pembawa HPIK dari Luar Negeri, dari Suatu Area ke
Area Lain di Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
g.
KEP MEN KP No. 41/MEN/2003 Tentang Tata Cara Penetapan
dan Pencabutan Kawasan Karantina
h.
KEP MEN KP No. 42/MEN/2003 Tentang Persyaratan Pemasukan
Media Pembawa Berupa Ikan Hidup
i.
KEP MEN KP No. 32/MEN/2004 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja UPT Karantina Ikan
j.
KEP MEN KP No. 33/MEN/2004 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Balai Uji Standar Karantina Ikan
k.
PER MEN KP No. 03/MEN/2005 Tentang Tindakan Karantina
Oleh Pihak Ketiga
l.
PER MEN KP No. 04/MEN/2005 Tentang Bentuk dan Jenis Serta
Tata Cara Penerbitan Dokumen Tindakan Karantina
m.
PER MEN KP No. 05/MEN/2005 Tentang Tindakan Karantina
Ikan Untuk Pengeluaran Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina
n.
International Aquatic Animal Health Code, OIE
o.
KEP MEN KP No. 16/MEN/ 2006 Tentang Penetapan
Tempat-tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media (HPIK)
p.
KEP MEN KP No. 17/MEN/2006 Tentang Penetapan Jenis-jenis
HPIK, Golongan, Media Pembawa dan Sebarannya
q.
Keputusan Kepala Puskari No. KEP.146/PKRI/2005 Tentang
Prosedur Tindakan Karantina Ikan Untuk Pemasukan Media Pembawa HPI/HPIKUntuk
Pemasukan (impor).
r.
Keputusan Kepala Puskari No. KEP.146/PKRI/2005 Tentang
Prosedur Tindakan Karantina Ikan Untuk Pemasukan Media Pembawa HPI/HPIKUntuk
Pengeluaran (Ekspor).
s.
KEP MEN KP No. 20/MEN/2007 Tentang Prosedur Tindakan
Karantina Ikan Untuk Pemasukan Media Pembawa HPI/HPIKUntuk Pengeluaran
(Domestik).
t.
PER
MEN No. 20/MEN/2007 Tentang Tindakan Karantina Ikan Untuk Pemasukan Media
Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina Dari Luar Negeri dan dari Suatu Area
ke Area Lain di Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
u.
KEP
MEN No. 8/MEN/2004 Tentang Tata Cara Impor Ikan Jenis Varietas Baru Ke Dalam
Wilayah Republik Indonesia.
2.1.3.
Prosedur Karantina Ikan
Adapun prosedur yang telah ditetapkan oleh PP
No.15 tahun 2002 tentang prosedur karantina, setiap media pembawa hama dan
penyakit ikan Karantina yang akan diimpor, diekspor, atau antar Hama dan
penyakit Ikan Karantina.
Persyaratan karantina
dan prosedur yang diperlukan adalah sebagai berikut :
a.
Impor (Pemasukan)
Setiap Ikan yang dimasukkan ke dalam wilayah
Negara Republik Indonesia wajib dilengkapi sertifikat kesehatan yang
diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di Negara asal dan Negara transit dan
melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan.
Ikan harus dilengkapi dokumen tambahan yang
dipersyaratkan oleh pihak yang berwenang serta dilaporkan dan diserahkan kepada
petugas karantina di tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina.
b.
Ekspor (Pengeluaran)
Setiap media pembawa yang akan dikeluarkan
dari wilayah Negara Republik Indonesia wajib dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh
petugas karantina, melalui tempat-tempat pengeluaran yang
telah ditetapkan dan dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina untuk
keperluan tindakan karantina.
c.
Domestik
Setiap media pembawa yang dibawa atau dikirim
dari suatu area lain didalam wilayah Negara Republik Indonesia wajib dilengkapi
sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh petugas karantina ditempat
pengeluaran dan ditempat transit, melalui tempat-tempat pemasukan dan
pengeluaran yang telah ditetapkan dan dilaporkan dan diserahkan kepada petugas
karantina ditempat pemasukan dan pengeluaran untuk keperluan tindakan
karantina.
2.1.4. Tindakan Karantina Ikan
Tindakan Karantina Ikan yang
selanjutnya disebut tindakan karantina adalah kegiatan yang bertujuan untuk
mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan karantina dari luar
negeri dan dari satu daerah ke daerah lain di dalam negeri atau keluarnya hama
dan penyakit ikan dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia (DKP 2002). Menurut
DKP (2002), Tindakan Karantina meliputi:
a. Pemeriksaan dokumen dan persyaratan karantina
Kegiatan
pemeriksaan dokumen dan persyaratan karantina meliputi pemeriksaan kelengkapan,
keabsahan, dan kebenaran dokumen usaha pengguna jasa serta pemeriksaan
kelengkapan, keabsahan dan kebenaran dokumen lalu lintas komoditi perikanan.
Persyaratan
pemeriksaan karantina, antara lain Sertifikat kesehatan (Health
Certificate) Negara atau daerah asal atau transit, kecuali untuk media
pembawa yang tergolong benda lain. Surat
keterangan asal untuk media pembawa melalui pintu masuk atau keluar yang telah
ditentukan. Surat permohonan
sebagai pelaporan melalulintaskan media pembawa. Menyerahkan media pembawa
kepada petugas karantina untuk dikenakan tindakan karantina. Diwajibkan
melaksanakan kewajiban tambahan apabila dipersyaratkan.
b. Mendeteksi hama dan penyakit ikan atau pemeriksaan media
pembawa
Pemeriksaan media pembawa secara visual, yaitu
pemeriksaan jenis, jumlah dan ukuran media pembawa serta pemeriksaan kelainan patologis
organ-organ luar dan dalam. Selain
itu, dilakukan pemeriksaan media pembawa secara laboratoris.
c. Pengasingan dan pengamatan
Pendeteksian
hama dan penyakit ikan pada media pembawa membutuhkan waktu yang lama, sarana
dan kondisi khusus, dilakukan pengasingan dan pengamatan secara visual dan
laboratoris di instalasi karantina ikan.
d. Perlakuan
Perlakuan diberikan
setelah dilakukan pengamatan bahwa media pembawa tertular atau diduga tertular
hama dan penyakit ikan yang disyaratkan atau hama dan penyakit ikan karantina
golongan II.
e. Penahanan
Penahanan
dilakukan apabila, tidak dilengkapi sertifikat kesehatan Negara atau daerah
asal dan dokumen lain yang dipersyaratkan sebagai kewajiban tambahan dikenakan
masa penahanan selama 3 hari dan tidak membuat surat permohonan sebagai
pelaporan atau tidak diurus bahkan tidak diketahui pemilik media pembawa yang
berupa ikan hidup, ikan segar dan ikan beku dikenakan masa penahanan selama 3
hari. Untuk media pembawa selain ikan hidup, ikan mati dan atau
ikan beku dikenakan masa penahanan selama 14 hari.
f.
Penolakan
Penolakan dilakukan apabila persyaratan
karantina tidak dapat dipenuhi yaitu tidak dilengkapi dengan sertifikat
kesehatan dari Negara atau daerah asal, tidak melalui tempat-tempat pemasukan
impor yang telah ditetapkan, tidak melalui tempat-tempat pemasukan dan
pengeluaran antar daerah yang telah ditetapkan, media pembawa tidak dilaporkan
atau diserahkan kepada petugas karantina, tidak dapat memenuhi kewajiban
tambahan, batas waktu penahanan
selama tiga hari telah habis, media pembawa tertular hama dan penyakit
karantina golongan I, busuk, rusak, jenis yang dilarang serta media pembawa tidak dapat disembuhkan dari hama dan
penyakit ikan yang disyaratkan atau hama dan penyakit ikan golongan II setelah
diberi perlakuan.
g.
Pemusnahan
Pemusnahan dilakukan ketika batas
waktu penolakan telah habis dan media pembawa tidak dapat disembuhkan atau
dibebaskan dari hama dan penyakit ikan golongan I, busuk, rusak, atau jenis
yang dilarang.
h.
Pembebasan
Ditandai dengan pemberian sertifikat
pelepasan terhadap pemasukan atau impor atau antar daerah dan sertifikat
kesehatan terhadap pengeluaran atau ekspor atau antar daerah media pembawa yang
telah dilakukan tindakan karantina.
2.1.5. Media Pembawa Hama dan Penyakit
Ikan Karantina (HPIK)
Kep Men KP No. 42/MEN/2003
menguraikan bahwa media pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK) adalah
ikan dan/atau benda lain yang dapat membawa hama dan penyakit ikan karantina.
Adanya pemasukan Media Pembawa
berupa ikan hidup dari luar negeri ke Indonesia dapat memberikan peluang akan
terbawanya hama dan penyakit ikan berbahaya dan dapat pula berdampak terhadap
perubahan dalam keseimbangan biota dan lingkungan hidup (Kep Men KP No. 42/MEN/2003).
Hama dan Penyakit Ikan Karantina
terdiri atas dua bagian, yaitu:
a.
Hama
dan Penyakit Ikan Karantina golongan I, yaitu semua hama dan penyakit ikan
karantina yang tidak dapat disuci hamakan atau disembuhkan dari media
pembawanya karena teknologi perlakuan belum dikuasai.
b.
Hama
dan penyakit Ikan Karantina golongan II, yaitu semua hama dan penyakit ikan
karantina yang dapat disuci hamakan atau disembuhkan dari media pembawanya
karena teknologi perlakuannya sudah dikuasai (PP No. 15 Tahun 2002).
2.2. Sarana dan Prasarana Identifikasi
Bakteri Pada Ikan
Menurut Handjani (2005), peralatan dan
bahan yang dibutuhkan pada proses pemeriksaan bakteri adalah sebagai berikut:
a) Dessecting kit, kertas tisuue, kapas,
inkubator, baki dish, tabung reaksi, jarum ose.
b) Quinaldin 12-20 ppm/MS222 15-20 ppm,
alkohol 70%.
c)
Medium Tryptic
Soy Agar (TSA) yang terdiri dari:
|
·
Tryptone
(17,0 g)
·
Soya
Peptone (3,0 g)
·
Dipotassium
Phosphate (2,5 g)
·
Sodium
chloride (5,0 g)
Menurut Hamdhani dkk. (1992),
inkubator adalah alat pemanas yang dapat digunakan untuk mensterilkan peralatan
atau wadah yang akan digunakan untuk menyimpan bahan awetan agar tidak
mudah basi atau busuk. Tabung reaksi
adalah sebagai tempat untuk mereaksikan zat-zat kimia pada laboratorium, yang
terbuat dari kaca bening dengan tujuan agar reaksi kimia yang terjadi dapat
terlihat dengan jelas. Jarum ose berfungsi menginokulasi kultur mikrobia
khususnya mikrobia aerob dengan metode streak.
2.3. Komoditas Air Tawar
Perikanan
budidaya air tawar memiliki jenis ikan yang dapat dibudidayakan sangat beragam.
Hal ini tentu sangat wajar karena umumnya komoditas perikanan budidaya air
tawar mudah untuk dibudidayakan dan memerlukan modal yang tidak semahal pada
dua subsektor lainnya. Selain itu, perikanan budidaya air juga lebih memasyarakat
karena jenis ikannya lebih banyak dikenali dan sangat disukai oleh para
penggemar ikan.
Ikan
air tawar indonesia sangat beraneka ragam. Tersebar di perairan tawar seperti
di sungai, rawa, waduk, dan danau. Ikan-ikan yang selama ini sering ditemui
pada daerah-daerah tersebut sebagian sudah dapat dibudidayakan di Indonesia.
Ikan-ikan ini antara lain dapat dibudidayakan dalam wadah kolam, karamba,
jaring apung dan dalam wadah minapadi.
Diantara ikan-ikan yang sudah dapat dibudidayakan di
Indonesia dan berkembang dengan sangat baik antara lain ikan Mas, ikan Nila, ikan Nilem, ikan Tawes, ikan Lele,
ikan Patin, ikan Baung, ikan Gabus, ikan Belida, ikan Jelawat, ikan Toman, ikan
Bawal, ikan Betok, ikan Betutu, ikan Gurame, ikan Mujair, ikan Sepat Siam, ikan
Sidat, ikan Belut, ikan Tambakan, Udang Galah, Lobster, Kodok dan Labi-labi
(Raharjo, 2010)
2.4. Penyakit Ikan
Menurut Yuasa dkk. (2003), organisme
yang menyebabkan penyakit terdiri dari:
a.
Non patogen,
berupa penyakit lingkungan
seperti suhu dan kualitas air (pH, kelarutan gas, zat beracun), kepadatan ikan
yang melebihi carrying capacity serta penyakit nutrisi seperti kekurangan
nutrisi, gejala keracunan bahan pakan.
b.
Patogen,
yaitu bersifat parasit yang terdiri dari penyakit viral, penyakit jamur, penyakit
bakterial dan parasit.
Lebih jelasnya nama penyakit oleh bakteri dan organisme penyebabnya dapat
dilihat pada table 1.
Tabel 1. Nama
Penyakit Oleh Bakteri dan Organisme Penyebabnya
Nama Penyakit Oleh Bakteri
|
Organisme Penyebab
|
Penyakit bercak merah/septicemia
|
Aeromonas
hydrophyla dan Pseudomonas flurescens
|
Columnaris
|
Flexibacter columnaris
|
Edwardsielosis
|
Edwardsiella terda
|
Vibriosis
|
Vibrio sp
|
Tuberculosis
|
Mycobacterium
marinum dan m. fortoitum
|
Sumber: Handajani (2005)
2.5. Bakteri Aeromonas
sp.
2.5.1. Definisi Bakteri
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992),
bakteri adalah organisme satu sel yang mempunyai daerah penyebaran relatif
luas, ukuran bakteri relatif besar dari pada virus, yaitu antara 0,3 - 0,5
mikron.
Bakteri merupakan organisme mikroskopis
rata-rata berdiameter 1,25 μm
(mikrometer = 1/1000000 meter). Bakteri yang terkecil adalah Dialister
pneumosintes dengan panjang tubuh 0,15 - 0,30 μm, sedangkan bakteri
terbesar adalah Spirillum
voluntans, panjang tubuh 13 – 15 μm. Ukuran bakteri adalah
mikroskopis artinya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop.
2.5.2. Klasifikasi
bakteri Aeromonas sp.
Pada mulanya Aeromonas sp. dikenal dengan nama Bacilus hydrophilus fuscus. Bakteri ini
pertama kali diisolasi dari kelenjar pertahanan katak yang mengalami perdarahan
septisemia. Pada tahun 1936, Kluiver dan Van Niel telah mengelompokkan genus
Aeromonas. Selanjutnya pada tahun 1984, Popoff telah memasukan genus Aeromonas
ke dalam famili Vibrionaceae. Mikroorganisme ini secara normal dapat ditemukan dalam
lingkungan perairan (Blair et al. 1999). Aeromonas
sp. diisolasi dari manusia dan
binatang sampai dengan tahun 1950. Bakteri ini memiliki nama sinonim A.
formicans dan A. liquefaciens (Sismeiro et al. 1998).
Berikut adalah klasifikasi Aeromonas sp. (Holt et. al. 1994):
Filum : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Pseudanonadeles
Family : Vibrionaceae
Genus : Aeromonas
Spesies : Aeromonas sp.
2.5.3.
Karakteristik Aeromonas
sp.
Aeromonas sp. merupakan bakteri heterotrophic unicellular, tergolong protista
prokariot yang dicirikan dengan adanya membran yang memisahkan inti dengan
sitoplasma. Bakteri ini biasanya berukuran 0,7-1,8 x 1,0-1,5 µm dan bergerak
menggunakan sebuah polar flagel (Kabata, 1985). Hal ini diperkuat oleh Holt et al (1994) yang menyatakan bahwa Aeromonas
sp. bersifat motil dengan flagela
tunggal di salah satu ujungnya. Bakteri ini berbentuk batang sampai dengan
kokus dengan ujung membulat, fakultatif anaerob, dan bersifat mesofilik dengan
suhu optimum 20 - 30 ºC (Kabata, 1985).
Aeromonas sp. bersifat gram negatif, oksidasi positif dan katalase positif
(Krieg dan Holt, 1984). Bakteri ini juga mampu memfermentasikan beberapa gula
seperti glukosa, fruktosa, maltosa, dan trehalosa. Hasil fermentasi dapat
berupa senyawa asam atau senyawa asam dengan gas. Pada nutrient agar, setelah
24 jam dapat diamati koloni bakteri dengan diameter 1-3 mm yang berbentuk
cembung, halus dan terang (Isohood dan Drake, 2002). Adapun bentuk bakteri Aeromonas
sp. dapat dilihat pada gambar
2 berikut ini:
Gambar 2. Aeromonas hydrophila
(Sumber: Hayes,
2000)
Aeromonas sp. merupakan bakteri yang secara normal ditemukan dalam air tawar.
Infeksi Aeromonas sp.dapat
terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan, stress, perubahan temperatur, air
yang terkontaminasi dan ketika host tersebut telah terinfeksi oleh virus,
bakteri atau parasit lainnya (infeksi sekunder), oleh kerena itu bakteri ini
disebut dengan bakteri yang bersifat patogen oportunistik (Dooley et al., 1985).
Bakteri ini dapat bertahan
dalam lingkungan aerob maupun anaerob dan dapat mencerna material-material
seperti gelatin dan hemoglobin. Aeromonas
sp. resisten terhadap chlorine
serta suhu yang dingin (faktanya jenis Aeromonas hydrophila dapat
bertahan dalam temperatur rendah ± 4 ºC), tetapi setidaknya hanya dalam waktu 1
bulan (Krieg dan Holt 1984). Sebagian besar isolat Aeromonas
sp. mampu tumbuh dan
berkembangbiak pada suhu 37 °C dan tetap motil pada suhu
tersebut. Disamping itu, bakteri Aeromanas
sp. mampu tumbuh pada kisaran pH
4,7-11,0 (Fauci, 2001).
2.5.4. Jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas sp.
Aeromonas sp.
telah dihubungkan dengan beberapa penyakit pada ikan, termasuk busuk ekor,
busuk sirip, dan haemorrahagic septicaemia. Haemorrahagic septicaemia ditandai
oleh adanya luka kecil pada permukaan, sering mengarah pada pengelupasan sisik,
pendarahan pada insang dan dubur, borok, bisul, exophthalmia (mata membengkak),
dan pembengkakan perut. Pada bagian dalam, dimungkinkan adanya cairan ascitic
di dalam rongga peritoneal, kekurangan darah merah, dan pembengkakan ginjal dan
hati (Miyazaki dan Kage, 1985). Misalnya serangan bakteri Aeromonas sp. pada belut yang menyebabkan penyakit sirip merah
seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Penyakit sirip
merah pada belut yang disebabkan oleh Aeromonas
hydrophila
(Sumber: Hayes, 2000)
Agen etiologik
dipindahkan secara horisontal (antar binatang selain dari induk dan keturunan)
tetapi tidak secara vertikal (dari induk ke keturunan). Bakteri memperbanyak
diri di dalam usus, menyebabkan suatu radang haemorrhagic mucuous-desquamative
(pengeluaran lendir berlebihan). Metabolit beracun Aeromonas hydropila diserap dari usus dan menginduksi keracunan.
Pendarahan pada kapiler terjadi di permukaan sirip dan di submukosa perut. Sel
hepatik dan epitel dari tubulus ginjal menunjukkan adanya degenerasi. Glomeruli
dihancurkan dan jaringan menjadi berdarah, dengan eksudat dari serum dan fibrin
(Miyazaki dan Jo, 1985).
Penjangkitan penyakit
biasanya berhubungan dengan perubahan kondisi lingkungan. Stres, overcrowding
(populasinya padat), suhu tinggi, perubahan suhu secara mendadak, penanganan
yang kasar, transfer ikan, rendahnya oksigen terlarut, rendahnya persediaan
makanan, dan infeksi fungi atau parasit, berpengaruh pada perubahan fisiologis
dan menambah kerentanan terhadap infeksi. Infeksi penyakit ikan yang disebabkan
oleh bakteri Aeromonas hidrophyla
dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini:
Gambar 4. Infeksi
Aeromonas hydrophila pada ikan
(Sumber: Hayes, 2000)
Menurut
Kordi dan Gufron (2004), Aeromonas salmonicida merupakan penyebab penyakit furunculosis. Bakteri ini
terutama menyerang ikan salmon dan menimbulkan kerugian yang sangat besar,
sistemiknya ditunjukkan oleh cirri-ciri seperti :
1.
Bentuk sangat akut (per-acute)
pada ikan seukuran jari (finger-lings); ikan menjadi berwarna lebih
gelap (melanosis) dan mengalami kematian dengan cepat anda-tanda yang
teramati sebelumnya.
2.
Betuk akut;tanda-tanda
yang tampak sebelumnya yaitu anoreksia yang berlangsung 2-3 hari sebelum
kematian.
3.
Sub-akut; bentuk ini merupakan bentuk yang paling lambat dimulai dengan
tanda-tanda klinik berupa haemoragik petekhial (petechial haemorrhages,
pendarahan akibat pecahnya pembuluh kapiler) pada kulit dan sekitar sirip. Ikan
akan menampakkan perubahan warna dan anoreksia, selanjutnyamengalami kematian
4-6 hari sejak tanda-tanda klinis awal muncul.
4.
Kronik; bentuk ini teramati pada ikan-ikan yang mampu bertahan hidup
pada serangan sub-akut dan ditunjukkan dengan sembuhnya borok dan luka.
Aeromonas salmonicida tidak hanya menyerang ikan salmonid, akan tetapi bakteri ini
juga dapat menyerang ikan air tawar seperti mas koki, koi, karper dan lele.
Bakteri ini mengefeksi bagian luar dari tubuh ikan, seperti kulit dan insang
ikan. Namun, selain di permukaan tubuh ikan, A.salmonicida juga
menyerang saluran pencernaan ikan. Penyakit akibat bakteri ini sangat mudah
menular pada ikan lain yang berada disekitar ikan yang terkena penyakit.
Penularan penyakit dapat dibagi menjadi 2, yaitu penularan secara vertical dan
horizontal. Penularan vertical adalah penularan penyakit dari induk ke
progeninya, sedang penularan horizontal adalah penularan penyakit ke ikan lain
melalui kontak langsung, vector, peralatan yang terkontaminasi, atau lingkungan
(Kordi dan Gufron, 2004).
Menurut Septiama, dkk
(2008), Ikan-ikan yang telah terkontaminasi bakteri Aeromonas sp. dapat ditandai dengan melihat ciri-ciri sebagai
berikut :
1.
Lesi terjadi secara
subkutan dengan pembengkakan sehingga menyebabkan ulcerative dermatitis (furunculosis).
2.
Pembengkakan biasanya
menjadi luka terbuka berisi nanah, darah, dan jaringan yang rusak di tengah
luka tersebut terbentuk cekungan (bentuknya seperti kaldera).
3.
Pada serangan akut tanda-tanda
yang menyeluruh mungkin tidak tampak.
4.
Hemorhagi pada dasar
sirip dan dan sirip dorsal geripis.
5.
Mata menonjol (eksopthalmia).
6.
Warna tubuh menjadi
lebih gelap.
Menurut Khairuman
(2002), Aeromonas hydrophilla dan
Aeromonas carviae menyebabkan penyakit “Bakterial Gill Disease” (BGD) pada ikan mas di daerah
Subang. Adapun gejala ikan mas yang terserang penyakit tersebut di antaranya
terdapat bercak kemerahan pada tubuh ikan di permukaan bagian bawah dan atas,
kulit bagian luar terkelupas dan berlanjut menjadi borok, insang terlihat
mengalami nekrosis dan kongesti, dan lamela insang saling melekat satu dengan
yang lainnya.
2.6. Prosedur Pemeriksaan
Penyakit Bakterial
2.6.1. Diagnosa Bakteri
Menurut Dealani (2006),
diagnosa ataupun pemeriksaan penyakit bakteri pada ikan dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu pemeriksaan tubuh bagian luar dan pemeriksaan tubuh bagian
dalam.
a.
Pemeriksaan tubuh bagian
luar (External Examination)
Dalam pemeriksaan ini perlu dicatat
gejala-gejala khusus yang ada pada tubuh bagian luar ikan seperti kekurangan
lendir, tubuh kasar, bentuk tubuh tidak normal, kerusakan pada sirip, adanya
exophathalmus, perubahan warna pada tubuh, adanya cyste, adanya luka/borok (ulcer)
dan lain-lain.
b.
Pemeriksaan organ dalam
Pemeriksaan dilakukan dengan
membedah tubuh ikan kemudian dicatat gejala-gejala yang tidak normal pada tubuh
ikan bagian dalam seperti perubahan warna ginjal, insang, adanya cairan
berlebih dalam rongga tubuh dan lain-lain.
2.6.2. Pengambilan Sampel
Menurut Handajani (2005),
teknik pengambilan sampel yang meliputi sampling, proses dan pengirimannya
merupakan tahapan yang perlu diperhatikan dalam mendiagnosa suatu penyakit.
Sampel yang perlu dipersiapkan tergantung dari tujuan dan metode dilakukan
diagnosis. Untuk tujuan pemeriksaan bakteri, maka sampel ikan harus dalam
keadaan hidup, karena sampel yang sudah mati umumnya beberapa jenis bakterinya
sudah rusak sehingga sulit dikenali.
2.6.3. Metode Pemeriksaan Bakteri
Pada Ikan
Tahap
pemeriksaan bakteri pada ikan diawali dengan ikan di bius dengan Quinaldin 12
- 20 ppm selama 5 - 10 menit atau MS222 15 - 20 ppm selama 3 - 10 menit. Kertas tissue atau kapas diletakkan di
bagian tubuh luar ikan, kemudian ditetesi dengan alkohol 70% secukupnya dan
dibiarkan selama 10 - 15 menit. Bagian perut ikan dibedah secara aseptic
kemudian jaringan dari organ-organ
hati, limpa, jantung dan luka di kulit atau pada organ-organ lain yang diduga
terserang penyakit, diambil atau ditusuk dengan jarum ose kemudian
digoreskan/diinokulasikan pada media Trytic Soy Agar (yang telah dimasukkan
dalam Petri dish steril sebanyak 15 - 20 ml) dan diinkubasikan pada suhu 300C
selama 24 jam.
Koloni-koloni
yang tumbuh pada TSA dipilih menurut bentuk dan warna koloni kemudian
diinokulasikan pada tabung reaksi yang berisi media TSA miring. Apabila
koloni-koloni tersebut belum terpisah, maka harus dipisahkan dahulu dengan cara
mengencerkan koloni tersebut dan mengambilnya dengan jarum ose. Lalu
diinokulasikan secara zig-zag pada medium TSA miring (dalam tabung reaksi) dan
diinkubasikan pada temperatur kamar selama 24 jam untuk mendapatkan biakan
murni dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan selanjutnya (Handajani 2005).
2.6.4. Uji Fisiologi dan Biokimia
Uji fisiologi dan biokimia dilakukan
untuk menentukan genus dan spesies bakteri, yang terdiri dari Pewarnaan Gram,
Sitokrom Oksidase, Oksidatif-Fermentatif, Mortalitas, Glukosa, Dekarboksilase,
Uji sensifitas, H2S, S. S Agar (Salmonella, Shigella agar), Manitol
dan inositol serta Garam NaCL 7,5% (Handajani 2005).
a.
Pewarnaan
Gram
Menurut
Handajani (2005) pewarnaan gram adalah salah satu prosedur yang paling banyak
digunakan untuk mencirikan banyak bakteri. Pewarnaan Gram juga merupakan pewarnaan
diferensial yang membedakan bakteri dalam dua kelompok yaitu bakteri gram positif
dan bakteri gram negatif. Reagen yang dipergunakan:
·
Kristal
violet yang terdiri dari larutan A (Kristal violet 2,0 g, Alkohol 95% 20,0 ml)
dan larutan B (Ammonium Oxalate 0,8 g, Aquadest 80,0 ml, larutan A + B).
·
Larutan
Iodine yang terdiri dari Iodine 1,0 g, Potassium iodine 2,0 g dan Aquadest
300,0 ml.
·
Karbon
fuchsin yang terdiri dari larutan A (Fuchsin 0,3 g, Alkohol 10,0 ml) dan
larutan B (Phenol 5,0 g, Aquadest 95,0 ml dan larutan A + B kemudian diencerkan
10 kali dalam aquadest.
b.
Sitokrom
Oksidase
Uji ini untuk mengetahui bahwa
bakteri dapat menghasilkan enzim oksidae. Larutan oksidase atau oksidase reagen
(yang terdiri dari
1 gram p- Aminidemethyllaniline oxalate dilarutkan dalam 100 ml aquadest
yang telah dididihkan, kemudian dituangkan pada botol warna gelap dan disimpan
dalam kulkas) diteteskan pada kertas saring, kemudian koloni bakteri digoreskan
pada kertas tersebut dengan mempergunakan platinum atau kaca. Warna biru yang
segera timbul pada goresan di kertas menunjukkan bahwa bakteri yang diuji
adalah mempunyai enzim oksidase. Jika tidak
timbul warna biru, berarti tidak mempunyai enzim oksidase (Handajani,
2005).
c.
Oksidatif-fermentatif
Medium yang dipergunakan adalah O - F
Medium (Hugh dan Leifson Medium) yang terdiri dari Peptone (2,0 g), Sodium
chloride (5,0 g), Dipotassium phosphate (0,3 g), Agar (3,0 g), Bromtymol blue
(0,08 g), Aquadest (1000,0 ml), Glukosa (1%) dan pH (7,1). Medium ini
disterilkan pada suhu 1180C selama 10 menit (Handajani, 2005).
d.
Motalitas
Pergerakan bakteri dapat dilihat di
bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Caranya, suspensi bakteri umur 24 jam diletakkan 1 tetes di
atas tutup kaca (cover glass), sisi kaca diolesi dengan paraffin kemudian
ditempelkan pada obyek glass dan dilihat di bawah mikroskop gerakan bakteri
yang diperiksa (Handajani 2005).
e.
Glukosa
Medium yang dipergunakan adalah
Karbonat broth yang terdiri dari Pepton (10,0 g), Beef extract (1,0 g), Sodium
chloride (5,0 g), Phenol
red (0,018 g), Aquadest (1000,0 ml) dan Karbonat 1% (glukosa, manitol dan
inositol). Medium ini disterilkan pada suhu 1180C selama 15 menit.
Uji ini dilakukan dengan
menginokulasikan bakteri umur 24 jam dalam medium glukosa yang mempunyai tabung
Durham, kemudian diinkubasi pada suhu 300C selama 24 jam. Perubahan
warna merah menjadi kuning dan adanya gas dalam tabung Durham menunjukkan bahwa
bakteri dapat mencegah glukosa menjadi suasana asam dan menghasilkan gas
(Handajani, 2005).
f.
Dekarboksilase
Medium yang dipergunakan
Dekarboksilase terdiri dari Pepton (5,0 g), Yeast extract (3,0
g), Glukosa (1,0 g), Bromcresol purple (0,02 g), Aquadest (1000,0 ml) dan pH
(6,8). Medium ini secara terpisah ditambah masing-masing 1% L-lysine, L-arginie
dan L-ornithine kemudian disterilkan pada suhu 1210C selama 15
menit.
Uji ini untuk mengetahui adanya
enzim dekarbonase yang dihasilkan oleh bakteri. Bakteri umur 24 jam diinokulasi
pada medium ini dan diinkubasi pada suhu 300C selama 48 jam. Bakteri
yang menghasilkan enzim karbonase akan dapat mengubah warna medium dari ungu
(violet) menjadi biru (Handajani 2005).
g.
Uji
Sensitifitas
Uji ini dilakukan dengan menggunakan disk yang mengandung
zat 0/129 150 ug. Disk diletakkan pada permukaan medium TSA yang telah
diinokulasikan bakteri, kemudian diinkubasikan pada suhu 300C selama
24 jam. Bakteri Vibrio sp sensitif terhadap zat ini yang ditandai dengan adanya
zone hambatan di sekitar atau lingkaran yang mengelilingi disk yang
diletakkan, sedangkan Aeromonas sp
tidak sensitif terhadap zat ini (Handajani, 2005).
h. H2S
Uji ini menggunakan medium Pepton Agar yang terdiri dari
Pepton (25,0 g), Sodium chloride (5,0
g), Aquadest (1000,0 ml) dan pH (7,2). Medium ini disterilkan pada suhu 1210C
selama 15 menit.
Uji ini dilakukan dengan menginokulasikan bakteri pada
medium Pepton cair, kemudian diletakkan kertas yang mengandung Pb-asetat di
mulut tabung dan diinkubasikan pada suhu 300C selama 24
jam. Bakteri penghasil asam sulfida (H2S) dapat menghitamkan kertas
Pb-asetat (Handajani, 2005).
i. Manitol dan inositol
Medium yang dipergunakan terdiri dari Pepton (10,0 g),
beef extract (1,0 g), Sodium chloride
(5,0 g), Phenol red (0,018 g), Aquadest (1000,0 ml), Manitol atau inositol
(1,0%). Medium ini disterilkan pada suhu 1180C selama 15 menit.
Uji ini
dilakukan dengan menginokulasikan bakteri pada medium kaldu yang mengandung
manitol atau inositol 1%, kemudian diinkubasikan pada suhu 300C
selama 24 jam. Bakteri pemecah manitol atau inositol dapat merubah warna medium
dari merah menjadi kuning yang berarti medium bersifat asam Handajani, 2005).
2.7. Pencegahan dan Penanganan Penyakit Bakteri Aeromonas sp. Pada Proses Budidaya
Menurut Pusat Penyuluh Perikanan
(2011), upaya pencegahan yang dilakukan agar ikan terhindar dari penyakit yaitu
sebagai berikut :
-
Melakukan
persiapan lahan yang benar, yaitu pengeringan dan pemupukan. Pengeringan
bertujuan untuk memutus siklus hidup penyakit. Dilakukan kira-kira selama tiga
minggu sampai dasar kolam retak-retak. Pengapuran digunakan untuk menstabilkan
pH tanah dan air serta dapat membunuh bakteri dan parasit. Pemupukan digunakan
untuk menyuburkan kolam dan menumbuhkan fitoplankton sebagai pakan alami.
-
Menjaga kualitas
air pada saat pemeliharaan. untuk itu dapat dilakukan treatment probiotik
secara teratur 0,3 ppm setiap hari. Probiotik akan mendegradasikan bahan
organik, menguraikan gas beracun dan menekan pertumbuhan bakteri merugikan
penyebab timbulnya bakteri.
-
Meningkatkan
ketahanan tubuh ikan melalui kekekbalan non spesifik dengan aplikasi
imunostimulant secara teratur seperti vitamin, glukan, dan pemberian
probiotik.
Ikan
yang sudah positif terserang Aeromonas
sp, bisa diobati dengan obat antibiotik, melalui penyuntikan, perendaman, bisa
juga dicampur pakan. Jenis obat yang digunakan bisa Chloraphenicol (kemicetin), Oxytetracyclin
atau Streptomycin. Tiap kapsul
berisi 250 mg dan dilarutkan kedalam air 500 liter. Larutan ini kemudian
digunakan untuk merendam ikan selama 2 jam. Lakukan hal tersebut sehari sekali
sampai 5 kali atau sampai ikan benar-benar sembuh (Irawan, 2000).
Pengobatan bisa pula menggunakan larutan Kalium Permanganat (PK) dengan dosis 2 gr/10 liter air atau 1,5 sendok teh
PK/100 liter air. Rendam ikan yang akan diobati dalam larutan tersebut selama
30 - 60 menit sambil terus diawasi. Bila ikan menunjukkan gejala keracunan,
segera pindahkan ke air segar. Bila belum sembuh betul, pengobatan diulangi 3 -
4 kali berturut-turut (Irawan 2000).
III.
METODOLOGI
3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Kerja Praktek Akhir ini akan dilaksanakan di Balai Uji Standar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan Jakarta Timur mulai tanggal 11 Maret – 27 April 2013
dengan jurnal yang terlampir pada Lampiran 1.
3.2. Metode Kerja Praktek Akhir
Untuk
memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam hal teknik identifikasi penyakit
bakteri Aeromonas sp. pada ikan air
tawar pada kegiatan Kerja Praktek Akhir ini, maka penulis menggunakan metode
magang dan survey. Metode magang yaitu penulis mengikuti serta berpartisipasi
secara langsung dalam semua kegiatan yang berhubungan dengan proses identifikasi penyakit bakteri Aeromonas sp. Pada air tawar yang
dilaksanakan di tempat KPA dibawah
bimbingan pembimbing eksternal.
Menurut Nazir (1988),
metode survey adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta
dari gejala-gejala yang ada dan mencari
keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi, ekonomi atau
politik dari suatu kelompok maupun suatu daerah.
3.3. Sumber Data
Data
yang akan diambil dalam pelaksanaan KPA ini berupa data primer dan data
sekunder. Menurut Subagyo (1991), data primer adalah data yang diperoleh
langsung dari sumber ditempat, sedangkan data sekunder merupakan data atau
informasi yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya atau berasal dari
bahan kepustakaan.
Data yang akan diambil untuk data primer
antara lain hasil pengamatan langsung selama pelaksanaan praktek, hasil dari
partisipasi dan hasil wawancara dengan nara sumber. Sedangkan untuk data
sekunder yang akan diambil diantaranya data stuktur organisasi, letak geografis, batas
wilayah dan lain-lain.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Menurut
Narbuko dan Achmadi (2001), teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ada
tiga cara yaitu:
a. Observasi, adalah cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diamati. Jenis
observasi yang digunakan adalah observasi partisipan dimana penulis yang
melakukan observasi turut ambil bagian atau berada dalam keadaan obyek yang di
observasi.
b. Wawancara, yaitu pengambilan data dengan cara tanya jawab langsung (berkomunikasi
langsung) yang dilakukan dengan dua orang atau lebih, bertatap muka dan
mendengarkan informasi atau keterangan dari pihak-pihak terkait. Adapun daftar pertanyaan
dalam melakukan wawancara pada kegiatan KPA ini dapat dilihat pada Lampiran 2.
Adapun
data teknis yang akan diambil dan dikumpulkan dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Data teknis yang akan diambil
No
|
Data yang akan diambil
|
Sumber Data
|
Analisis Data
|
|
Primer
|
Sekunder
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
Proses pengambilan sampel
|
Ö
|
|
Observasi &
wawancara
|
2
|
Sarana dan prasarana BUSKIPM
|
Ö
|
|
Observasi &
Wawancara
|
3
|
Proses identifikasi bakteri Aeromonas sp. Pada ikan air tawar
|
Ö
|
|
Observasi &
wawancara
|
4
|
Tindakan hasil identifikasi
|
Ö
|
|
Observasi &
wawancara
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
5
|
Struktur organisasi BUSKIPM
|
|
Ö
|
Wawancara
|
6
|
Letak Geografis BUSKIPM
|
|
Ö
|
Wawancara
|
7
|
Batas wilayah BUSKIPM
|
|
Ö
|
Wawancara
|
Sumber : Data Primer, 2013
3.5. Metode Pengolahan Data
Setelah data primer dan
data sekunder terkumpul kemudian data tersebut diolah dengan cara:
a. Editing: Menurut Narbuko dan Achmadi (2001), editing adalah memeriksa daftar kuisioner yang telah
dijawab. Tujuannya untuk mengurangi kesalahan atau kekurangan yang ada dalam
daftar pertanyaan yang sudah diselesaikan.
b. Tabulating: Menurut Nazir (1988), tabulating yaitu memasukkan data ke dalam tabel-tabel dan mengatur
angka-angka sehingga dapat dihitung jumlah kasus dalam berbagai kategori.
3.6. Analisis Data
Analisis data diarahkan
untuk mengetahui teknik pengujian-pengujian dalam identifikasi penyakit
bakterial ikan yang diambil dari organ target seperti insang, ginjal, hati,
atau luka yang terdapat pada permukaan kulit. Selain itu analisa data diarahkan
untuk memperoleh keterampilan pelaksanaan dalam mengidentifikasi penyakit
bakterial ikan dan kelengkapan alat dan bahan yang digunakan untuk identifikasi
penyakit bakterial ikan dengan menggunakan analisis deskriptif.
Menurut Narbuko dan
Achmadi (2001), analisis deskriptif
yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau
melukiskan, menyajikan data, menganalisis dan menginterprestasikan keadaan
subjek atau objek peneliti/lembaga, masyarakat dan lain-lain.
3.7. Rencana Kegiatan
Adapun rencana kegiatan
yang akan dilaksanakan dalam Kerja Praktek Akhir ini dapat dilihat pada
Lampiran 1.
DAFTAR
PUSTAKA
Ade. 1994. Mencari Primadona Baru Ikan Air Tawar.
Majalah Agrobis. Surabaya.
Afrianto,
Liviawati E. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
2003. Quick Look Riset Kelautan dan
Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Blair, et
al. 1999. Food Studies Research unit,
university of ulstrerat Jordanstom, co. Antrim, Northem Ireland, Aeromonas /
introduction 25.
Cahyono B.
2000. Budidaya Ikan Air Tawar.
Kanisius. Yogyakarta.
Dealani D (2001).
Agar Ikan Sehat. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan.
2002. Peraturan Pemerintah Indonesia No.
15 Tahun 2002. http://bpkp.go.id/unithukum/pp/2002/015-02.pdf [2 Januari 2013]
Dooley, et
al. 1988. Surface Protein composition of
Aeromonas hydrophila virulent for fish : identification of an S-layer protein
J. Bacteriol. 170: 499-506
Dwidjoseputro
D (2005). Dasar-Dasar Mikrobiologi.
Djambatan. Jakarta.
Esa. 1994. Supermarket AS Butuhkan 100 Ton Nila Merah
per Bulan. Majalah Agrobis. Surabaya.
Fauci A.
2001. Pengaruh Pemberian Levamisol dan
Saccharomyces cereviceae Dosis 60 ppm terhadap Gambaran Darah Ikan Mas
(Cyprinus carpio) yang Diinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila (skripsi).
Bogor: fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Petanian Bogor.
Hamza A.
2010. Penyakit Yang Disebabkan Oleh
Bakteri. http://www.scribd.com/doc/21382789/Penyakit-bakteri
[2 Januari 2013]
Handajani H,
Sri S. 2005. Parasit dan Penyakit Ikan.
Universitas Muhamadiyah Malang. Malang.
Hamdhani H,
Evi L, Syamsudin A R, Eddy A. 1992. Kamus
Istilah Perikanan. Kanisius. Yogyakarta.
Hayes, J., 2000. Aeromonas
hydrophila. Oregon State University. http://hmsc.oregonstate.edu/classes/MB492/hydrophilahayes
Tanggal akses: 13 December 2006
Holt
JG, Kreig NR, Sneath PHA, Staley JT, 1994. Bergey’s
Manual of Determinative Bacteriology. United States of America Baltmore:
Williams & wilkins Company
Isohood JH, Drake M. 2002. Review : Aeromonas species in foods. J. Food Prot 65 : 575-582
Irawan A (2000). Menanggulangi Hama dan Penyakit Ikan.
Aneka. Solo.
Kabata Z.
1985. Parasites and Disease of Fish
Cultured in Tropics. London and Philadelphia: Taylor and Francis Press
Khairuman.
(2002). Wabah Penyakit Bakteri Pada Ikan. http://www.pikiran-rakyat.com/wabah
penyakit bakteri pada ikan.htm [2 Januari 2013]
Kordi K, ghufron H. 2004. Penanggulanagn
Hama dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta dan Bina Adiaksara.
Jakarta.
Kreig NR, Holt JG. 1984. Bergey’s
Manual of Systematic Bacteriology. Ed ke_1. United States of America
Baltimore : Williams & Wilkins Company.
Miyazaki,
T. and Kaige, N. 1985. A
histopathological study on motile aeromonas disease in Crucian carp. Fish
Pathology. Edisi 21: halaman 181–185.
Miyazaki,
T. and Jo, Y. 1985. A histopathological
study on motile aeromonad disease in ayu. Fish Pathology. Edisi 20: halaman
55–59.
Narbuko dan Achmadi (2001). Metodologi Penelitian. Bumi Aksara. Jakarta.
Nazir (1993). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Pusat
Karantina Ikan. 2005. Pelatihan Dasar
Karantina Ikan Tingkat Terampil. Jakarta.
Pusat
Penyuluh Perikanan. 2011. Pencegahan dan
Pengobatan Penyakit pada Budidaya Ikan. http://pusluh.kkp.go.id/index
.php/arsip/c/35/ [15 Januari 2013]
Puskari
(2005). Tindakan Karantina Ikan http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/30/tindakan-karantina-ikan/
[2
Januari 2013]
Rahardjo A.
2010. Komoditas Ikan Air Tawar di
Indonesia. http://benihikan.
net/kabar/komoditas-budidaya-air-tawar-di-indonesia/ [3 Januari 2013]
Septiama dkk. 2008. Metode Standar Pemeriksaan HPIK
Golongan Bakteri Aeromonas Salmonicida. Pusat Karantina Ikan
departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Stasiun
Karantina Ikan Kelas II Tanjung Perak Surabaya (2008). Prosedur Tindakan Karantina. Surabaya.
Sismeiro et al. 1998. Aeromonas hydrophila Adenylyl Cyclase: a New Class of Adenylyl Cyclase
with Thermopphilic Properties and Sequences Similiarities to Proteins From
Hyperthermophilic Archaebacteria. J
Bakteriol 180:3339-3344
Subagyo (1991). Metode
Penelitian dalam Teori dan Praktek.
Bumi Aksara. Jakarta.
Supriyadi H (2002). Pengendalian dan Pembuatan Media Penyakit Ikan Golongan Bakteri.
Jakarta.
Yuasa K, Isti K,
D Roza, Ketut M, F Johnny (2003). Panduan Diagnosa Penyakit Ikan. Departemen
Kelautan dan Perikanan Jambi [BBAT] Balai Budidaya Air Tawar Jambi, Ditjen
Perikanan Budidaya, DKP dan JICA. Jambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar